Masyarakat
Jakarta sesaat panik dan terkesima, ketika hotel JW Marriott dan Ritz
Carlton hancur diguncang bom teroris. Setelah hampir 3 tahun tidak
terdengar adanya bom teroris. Kesekian kalinya kembali Indonesia
bergetar sejak tahun tahun 2000, ketika C4 menghantam kediaman Kedubes
Filipina di Jakarta yang juga memakan banyak korban. Teror bom bukan
hanya milik Indonesia, berbagai belahan di dunia tak luput dari serangan
yang menakutkan tersebut. Tampaknya ancaman teroris tersebut sulit
dielakkan lagi. Nantinya. Ancaman teroris tampaknya akan menjadi bagian
kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia yang harus terus diwaspadai
sebagai bahaya laten.
Akankah Indonesia atau dunia aman dari bahaya laten teroris? Adalah sebuah pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh siapapun juga, bahkan oleh seorang pakar kriminal atau pakar teroris sekalipun. Hal ini terjadi karena penyebab dan pemicu bahaya teroris adalah muktifaktorial. Selama berbagai faktor penyebab itu tidak dikendalikan dengan baik, maka bahaya teroris akan terus mengancam kehidupan manusia yang beradab.
Penyebab atau cikal bakal teroris di tempat satu dan tempat yang lain sangat berbeda. Demikian juga bila dilihat dari dimensi waktu juga sangat berbeda. Faktor penyebab ketika Borobudur diguncang bom teoris sangat berbeda dengan bom yang baru meledak di Jakarta baru-baru ini. Demikian juga teror bom yang diledakkan teroris di belahan dunia yang lain sangat berbeda dengan yang di Indonesia. Memang, mungkin ada sebagian kesamaan dalam faktor penyebab tetapi seringkali juga terdapat perbedaan mendasar.
Kompleksitas faktor penyebab
Bila dicermati secara mendalam akar penyebab munculnya aksi terorisme sangat rumit dan kompleks. Berbagai muktifaktorial yang menyangkut masalah transnasional dan kehidupan politik dunia bisa jadi penyebab dan pemicu terjadinya terorisme. Secara umum muktifakktorial yang terjadi adalah faktor ketidakadilan itu terjadi di berbagai belahan dunia baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.
Berbagai faktor ketidakadilan tersebut akan memicu faktor radikalisme dan fundamentalisme. Radikalisme dan fundamentalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme. Semua agama apapun di dunia ini, termasuk agama Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama yang penuh toleransi. Melihat kompleksitas permasalahan tersebut tampaknya terorisme bukan semata-mata masalah agama, melainkan masalah seluruh umat manusia dalam berbagai aspek.
Muktifaktorial tersebut juga akhirnya yang akan mengakibatkan berbagai pihak akan melakukan aksi saling tuding sebagai biang penyebabnya. Bom di Jakarta yang mengguncang di Jakarta bom, telah menjadikan banyaknya kambing hitam yang muncul. Pihak keamanan dan pihak intelejen dituding tidak becus dan tidak professional dalam mencegah aksi tersebut. Tapi tudingan selalu dimentahkan, jangankan di Indonesia di negara Amerika Serikat sebagai pusat rujukan anti teror duniapun tidak bisa mencegah hancurnya gedung WTC oleh tabrakan maut para teroris.
Banyak yang berkeyakinan bahwa bila dalang teroris di Indonesia seperti Nurdin M Top ditangkap maka ancaman bom di Indonesia akan hilang. Hipotesa inipun juga akan semakin diragukan, karena radikalisme dan fundamentalisme tersebut ternyata akan tumbuh hilang berganti. Hal ini juga ditunjukkan dengan teroris di belahan dunia yang lain tetap subur, meskipun para dalangnya telah dilenyapkan.
Amerika dan Israelpun selanjutnya pasti akan dituding sebagai faktor penyebab. Banyak pemimpin dunia Islam dan tokoh agama Islam menuding mereka sebagai biang kerok terorisme dunia. Sepintas memang betul hal ini tampaknya sebagai penyebab. Karena, sasaran para teroris adalah kepentingan asing khususnya Negara Amerika dan Negara Barat. Tetapi serta merta pemimpin negara yang tertuduh berdalih, kenapa hanya negara muslim tertentu yang tubuh subur ancaman teroris. Bahkan pihak negara adidaya dan pihak Barat tersebut balik menuding bahwa negara tertentu adalah produsen teroris dunia.
Sekali lagi, bila muktifaktorial yang berpengaruh terhadap suatu masalah maka kontroversi dan beda pendapat tidak mungkin mudah terselesaikan. Saling tuding, saling tuduh dan saling curiga terhadap berbagai pihak mungkin saja semua ada benarnya. Sebaliknya, dengan keras kepala pihak tertentu akan bersikeras bahwa dialah yang paling benar sedangkan pihak lain adalah yang mutlak salah.
Sedangkan kehebatan faktor keamanan di suatu wilayah, bukanlah satu-satunya jaminan untuk dapat melenyapkan teroris di muka bumi ini. Bahkan upaya untuk memerangi terorisme yang digalang Amerika Serikat sebagai negara paling maju di berbagai bidangpun ternyata tak membuat dunia lebih aman. Karena itu banyak ahli beranggapan bahwa AS telah kalah dalam perang melawan terorisme.
Hal ini terungkap dalam survei yang melibatkan 116 pakar dan mantan pejabat pemerintahan AS. Survei tersebut dilakukan oleh sebuah lembaga terkemuka di AS, yaitu majalah US Foreign Policy, dengan Center for American Progress. Sebanyak 84 persen responden menyatakan bahwa AS telah kalah dalam perang terhadap terorisme. Sebanyak 85 persen menyatakan bahwa dunia kini telah berubah menjadi tempat yang sangat berbahaya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sedang 80 persen responden menegaskan bahwa AS dalam beberapa dekade mendatang akan menjadi target serangan. Mereka yang dilibatkan dalam survei termasuk di antaranya adalah mantan menteri luar negeri, para penasihat keamanan nasional, pejabat tinggi angkatan darat, anggota badan intelijen, akademisi, juga para jurnalis. Hampir 80 persen responden pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah. Lebih dari setengahnya mereka menempati jabatan di lingkungan ekskutif, sepertiganya adalah dari kalangan militer, dan 17 persen lainnya berasal dari komunitas intelijen.Terlihat nyata, apa yang dilakukan pemerintah AS yaitu mengerahkan pasukan militer dan menyebarkan ancaman melalui kekuatan militer, bukanlah pandangan yang realistis. Sebab apa yang dilakukan AS hanya memerangi gejalanya bukan akar penyebab terorisme.
Intropeksi semua pihak
Melihat banyaknya faktor yang berpengaruh dan pihak yang terkait dengan terorisme, maka memusnahkan bahaya laten terioris tidak semudah membalik telapak tangan. Bila berbagai faktor yang berpengaruh sebagai penyebab teroris tidak intropeksi maka mencegah bahaya laten teroris hanya sebuah impian. Semua pihak bila dicermati punya potensi untuk media tumbuhnya cikal bakal teroirisme tanpa disadari. Berbagai pihak termasuk lingkungan nasional dan internasional harus melakukan komunikasi dengan mengedepankan intropeksi diri bukan dengan semangat saling menyalahkan. Alangkah damainya dunia ini bila Muhamadiyah atau NU sebagai basis masyarakat muslim yang besar di dunia, mengawali membuka komunikasi dengan masyarakat dunia lainnya. Awal semangat komunikasi tersebut bukan semata menghilangkan bahaya teroris itu sendiri, tetapi saling introspeksi tentang kelemahan dan kekurangannya sehingga kenapa teroris tersebut menjadi bahaya laten.
Di dalam negeri semua pihak harus saling bergandeng tangan bersatu, bukan untuk saling menyelahkan tetapi justru untuk saling introspeksi diri. Dalam jangka pendek mungkin saja mempersempit ruang gerak dan penangkapan dalang teroris di Indonesia harus segera dilakukan. Tetapi hal ini bukan solusi utama dalam penghancuran terorisme di Indonesia. Penjagaan super ketat di berbagai plasa dan hotel paska pengeboman, bukanlah tindakan yang utama. Karena saat ini pasti para teroris akan lenyap ditelan bumi. Yang nantinya mereka akan menebar teror bom yang mungkin lebih menakutkan lagi.
Kelemahan pihak pemerintah, pemuka agama dan seluruh lapisan masyarakat dalam menyikapi akibat kemiskinan, buruknya pendidikan, rendahnya pemahaman agama, rendahnya nilai budaya dan kehidupan sosial sebagai pemicu terorisme harus segera diperbaiki.
Pemberdayaan kaum moderat dan kaum intelektual merupakan suatu keharusan dalam pengembangan masyarakat modern. Keterlibatan berbagai pihak termasuk pemerintah, pemuka agama, lembaga sosial dan semua lapisan masyarakat melalui berbagai mekanisme tidak boleh lengah, jika tidak ingin radikalisme dan fundamentalisme muncul dan menjadi ancaman bersama. Pemahaman pengetahuan ajaran Islam yang mendalam dan maraknya toleransi dalam kehidupan beragama dapat menghindarkan pemikiran radikal dan fundamental yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan.
Bila semua pihak bersatu mengedepankan sikap toleransi dan instropeksi maka akan menjadi media yang paling dahsyat uintuk melawan terorisme dimanapun berada. Tetapi bila sikap saling menyalahkan dan saling curiga dikedepankan maka jangan berharap bahaya laten teroris akan lenyap di muka bumi ini.
Akankah Indonesia atau dunia aman dari bahaya laten teroris? Adalah sebuah pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh siapapun juga, bahkan oleh seorang pakar kriminal atau pakar teroris sekalipun. Hal ini terjadi karena penyebab dan pemicu bahaya teroris adalah muktifaktorial. Selama berbagai faktor penyebab itu tidak dikendalikan dengan baik, maka bahaya teroris akan terus mengancam kehidupan manusia yang beradab.
Penyebab atau cikal bakal teroris di tempat satu dan tempat yang lain sangat berbeda. Demikian juga bila dilihat dari dimensi waktu juga sangat berbeda. Faktor penyebab ketika Borobudur diguncang bom teoris sangat berbeda dengan bom yang baru meledak di Jakarta baru-baru ini. Demikian juga teror bom yang diledakkan teroris di belahan dunia yang lain sangat berbeda dengan yang di Indonesia. Memang, mungkin ada sebagian kesamaan dalam faktor penyebab tetapi seringkali juga terdapat perbedaan mendasar.
Kompleksitas faktor penyebab
Bila dicermati secara mendalam akar penyebab munculnya aksi terorisme sangat rumit dan kompleks. Berbagai muktifaktorial yang menyangkut masalah transnasional dan kehidupan politik dunia bisa jadi penyebab dan pemicu terjadinya terorisme. Secara umum muktifakktorial yang terjadi adalah faktor ketidakadilan itu terjadi di berbagai belahan dunia baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya.
Berbagai faktor ketidakadilan tersebut akan memicu faktor radikalisme dan fundamentalisme. Radikalisme dan fundamentalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme. Semua agama apapun di dunia ini, termasuk agama Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama yang penuh toleransi. Melihat kompleksitas permasalahan tersebut tampaknya terorisme bukan semata-mata masalah agama, melainkan masalah seluruh umat manusia dalam berbagai aspek.
Muktifaktorial tersebut juga akhirnya yang akan mengakibatkan berbagai pihak akan melakukan aksi saling tuding sebagai biang penyebabnya. Bom di Jakarta yang mengguncang di Jakarta bom, telah menjadikan banyaknya kambing hitam yang muncul. Pihak keamanan dan pihak intelejen dituding tidak becus dan tidak professional dalam mencegah aksi tersebut. Tapi tudingan selalu dimentahkan, jangankan di Indonesia di negara Amerika Serikat sebagai pusat rujukan anti teror duniapun tidak bisa mencegah hancurnya gedung WTC oleh tabrakan maut para teroris.
Banyak yang berkeyakinan bahwa bila dalang teroris di Indonesia seperti Nurdin M Top ditangkap maka ancaman bom di Indonesia akan hilang. Hipotesa inipun juga akan semakin diragukan, karena radikalisme dan fundamentalisme tersebut ternyata akan tumbuh hilang berganti. Hal ini juga ditunjukkan dengan teroris di belahan dunia yang lain tetap subur, meskipun para dalangnya telah dilenyapkan.
Amerika dan Israelpun selanjutnya pasti akan dituding sebagai faktor penyebab. Banyak pemimpin dunia Islam dan tokoh agama Islam menuding mereka sebagai biang kerok terorisme dunia. Sepintas memang betul hal ini tampaknya sebagai penyebab. Karena, sasaran para teroris adalah kepentingan asing khususnya Negara Amerika dan Negara Barat. Tetapi serta merta pemimpin negara yang tertuduh berdalih, kenapa hanya negara muslim tertentu yang tubuh subur ancaman teroris. Bahkan pihak negara adidaya dan pihak Barat tersebut balik menuding bahwa negara tertentu adalah produsen teroris dunia.
Sekali lagi, bila muktifaktorial yang berpengaruh terhadap suatu masalah maka kontroversi dan beda pendapat tidak mungkin mudah terselesaikan. Saling tuding, saling tuduh dan saling curiga terhadap berbagai pihak mungkin saja semua ada benarnya. Sebaliknya, dengan keras kepala pihak tertentu akan bersikeras bahwa dialah yang paling benar sedangkan pihak lain adalah yang mutlak salah.
Sedangkan kehebatan faktor keamanan di suatu wilayah, bukanlah satu-satunya jaminan untuk dapat melenyapkan teroris di muka bumi ini. Bahkan upaya untuk memerangi terorisme yang digalang Amerika Serikat sebagai negara paling maju di berbagai bidangpun ternyata tak membuat dunia lebih aman. Karena itu banyak ahli beranggapan bahwa AS telah kalah dalam perang melawan terorisme.
Hal ini terungkap dalam survei yang melibatkan 116 pakar dan mantan pejabat pemerintahan AS. Survei tersebut dilakukan oleh sebuah lembaga terkemuka di AS, yaitu majalah US Foreign Policy, dengan Center for American Progress. Sebanyak 84 persen responden menyatakan bahwa AS telah kalah dalam perang terhadap terorisme. Sebanyak 85 persen menyatakan bahwa dunia kini telah berubah menjadi tempat yang sangat berbahaya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sedang 80 persen responden menegaskan bahwa AS dalam beberapa dekade mendatang akan menjadi target serangan. Mereka yang dilibatkan dalam survei termasuk di antaranya adalah mantan menteri luar negeri, para penasihat keamanan nasional, pejabat tinggi angkatan darat, anggota badan intelijen, akademisi, juga para jurnalis. Hampir 80 persen responden pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah. Lebih dari setengahnya mereka menempati jabatan di lingkungan ekskutif, sepertiganya adalah dari kalangan militer, dan 17 persen lainnya berasal dari komunitas intelijen.Terlihat nyata, apa yang dilakukan pemerintah AS yaitu mengerahkan pasukan militer dan menyebarkan ancaman melalui kekuatan militer, bukanlah pandangan yang realistis. Sebab apa yang dilakukan AS hanya memerangi gejalanya bukan akar penyebab terorisme.
Intropeksi semua pihak
Melihat banyaknya faktor yang berpengaruh dan pihak yang terkait dengan terorisme, maka memusnahkan bahaya laten terioris tidak semudah membalik telapak tangan. Bila berbagai faktor yang berpengaruh sebagai penyebab teroris tidak intropeksi maka mencegah bahaya laten teroris hanya sebuah impian. Semua pihak bila dicermati punya potensi untuk media tumbuhnya cikal bakal teroirisme tanpa disadari. Berbagai pihak termasuk lingkungan nasional dan internasional harus melakukan komunikasi dengan mengedepankan intropeksi diri bukan dengan semangat saling menyalahkan. Alangkah damainya dunia ini bila Muhamadiyah atau NU sebagai basis masyarakat muslim yang besar di dunia, mengawali membuka komunikasi dengan masyarakat dunia lainnya. Awal semangat komunikasi tersebut bukan semata menghilangkan bahaya teroris itu sendiri, tetapi saling introspeksi tentang kelemahan dan kekurangannya sehingga kenapa teroris tersebut menjadi bahaya laten.
Di dalam negeri semua pihak harus saling bergandeng tangan bersatu, bukan untuk saling menyelahkan tetapi justru untuk saling introspeksi diri. Dalam jangka pendek mungkin saja mempersempit ruang gerak dan penangkapan dalang teroris di Indonesia harus segera dilakukan. Tetapi hal ini bukan solusi utama dalam penghancuran terorisme di Indonesia. Penjagaan super ketat di berbagai plasa dan hotel paska pengeboman, bukanlah tindakan yang utama. Karena saat ini pasti para teroris akan lenyap ditelan bumi. Yang nantinya mereka akan menebar teror bom yang mungkin lebih menakutkan lagi.
Kelemahan pihak pemerintah, pemuka agama dan seluruh lapisan masyarakat dalam menyikapi akibat kemiskinan, buruknya pendidikan, rendahnya pemahaman agama, rendahnya nilai budaya dan kehidupan sosial sebagai pemicu terorisme harus segera diperbaiki.
Pemberdayaan kaum moderat dan kaum intelektual merupakan suatu keharusan dalam pengembangan masyarakat modern. Keterlibatan berbagai pihak termasuk pemerintah, pemuka agama, lembaga sosial dan semua lapisan masyarakat melalui berbagai mekanisme tidak boleh lengah, jika tidak ingin radikalisme dan fundamentalisme muncul dan menjadi ancaman bersama. Pemahaman pengetahuan ajaran Islam yang mendalam dan maraknya toleransi dalam kehidupan beragama dapat menghindarkan pemikiran radikal dan fundamental yang mengarah pada aksi-aksi kekerasan.
Bila semua pihak bersatu mengedepankan sikap toleransi dan instropeksi maka akan menjadi media yang paling dahsyat uintuk melawan terorisme dimanapun berada. Tetapi bila sikap saling menyalahkan dan saling curiga dikedepankan maka jangan berharap bahaya laten teroris akan lenyap di muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!