“Sebelum
melihat tanda – tanda yang nyata dari bekas – bekas belajarmu aku belum
percaya. Karena bisa juga kamu hanya sekedar menunjuk suatau tempat yang kira –
kira pantas untuk tempat belajarmu.”
“Ooo
… Jadi ustadz belum percaya ?”
“Kalau
begitu marilah kita segera kesana ! Karena aku ingat juga bahwa malam ini akupun
juga mempunyai agenda yang tidak bisa ditinggalkan sebelum fajar tersenyum.”
Romi
segera berjalan menuju sebuah bangunan disebelah timur. Ustadz Zain mengikuti
dibelakangnya dengan hati yang penuh keraguan.
Beberapa
menit kemudian mereka berdua sampailah di sebuah bangunan tua. Romi menaruh
tikar, disebuah teras yang rusak dari bangunan itu. Lantas ia menghidupkan
sebuah lampu sentir. Setelah lampu sentir hidup ia pergi meunju pojok bangunan
itu sambil menenteng curigen yang berisi air. Di pojok bangunan itu ada tumbuh
rumput tebal yang luasnya hanya sekitar satu meter persegi. Ia membuka tutup
curigen itu. Lantas ia membasuh kakinya dengan air dari curigen itu diatas
tumbuhan rumput yang tumbuh lebat di pojok bangunan tua tersebut.
Selesai
membasuh kaki, Romi berjalan kearah dimana tikarnya ditaruh. Ia mengambil tikar
itu dan membawa serta lampu sentir ke pojok bangunan tua tersebut. Sampai di
pojok barat laut bangun tersebut ia meletakkan lampu sentir tersebut di atas
tumpukan batu bata yang telah tersusun dari empat tumpukan. Kemudian ia
menggelar tikarnya disebelah timur lampu sentir itu. Lantas ia duduk diatas
tikar tersebut.
“Ustadz
Zain, disinilah aku setiap malam belajar Ilmu Laduni itu. Aku
baca kitab – kitab pelajaran tanpa bosan. Aku tidak akan berhenti membaca
sebelum yang aku baca bisa aku fahami. Kalau sudah aku baca berulang kali belum
juga faham, maka apa yang belum aku bisa fahami itu aku bawa tidur. Artinya aku
sholat malam beberapa roka’at dan berdo’a tanpa putus agar dalam tidurku Alloh
berkenan memberikan kefahaman. Dengan cara itu kadang aku mendapatkan kefahaman
dengan bermimpi. Kadang juga dalam mimpi tidak bisa muncul apa yang aku
angankan. Tapi ketika aku bangun lantas mambacanya kembali langsung bisa
memahami ilmu yang tadinya musykil buatku ustadz. Namun ada pula ilmu yang
tidak bisa aku fahami dengan cara keduanya. Maka yang terakhir ini aku biasa
bertanya ke berbagai ustadz atau kawan. Sering juga aku tanyakan kepada abahku.
Begitulah ustadz aku belajar Ilmu Laduni itu. Sekarang apakah ustadz sudah
perecaya terhadap apa yang aku terangkan sejak tadi.” Terang Romi.
“Aku
belum juga yakin Romi. Kamu belum menunjukkan tanda – tanda kalau kamu setiap
malam belajar disini. Sekarang tunjukkanlah tanda – tanda itu kepadaku !”
“Baiklah
ustadz, akan aku tunjukkan tanda – tanda yang bisa ustadz periksa sendiri
dengan jeli :
1.
Ustadz mesti memahami bahwa aku kesini tidak meraba – raba. Artinya
aku menuangkan air curigen untuk membasuh kaki di pojok sana yang ada rumput
tebal tadi lantas menuju kesini tanpa mencari – cari tempat lebih dulu. Dari
pojok langsung kesini. Tidak ada kesan sedikitpun masih mancari – cari tempat
yang pas. Karena hal ini sudah biasa aku lakukan setiap malam.
2.
Lihatlah
ustadz tumpukan 4 batu bata tempat lampu
sentir ini aku taruh ! Ustadz tahu bahwa aku tidak menumpuk 4 batu bata ini
sekarang. Karena aku menumpuknya sejak beberapa tahun yang telah lewat. Memang
kadang 4 batu bata ini berserakan, lantas aku ambil dan aku tata kembali.
3.
Selanjutnya
ustadz bisa menganalisa lebih jauh tentang rumput yang tumbuh tebal di pojok itu ! Kebetulan sekarang ini
musimnya kemarau. Mustahil ada rumput tumbuh tebal di pasir yang tandus dimusim
kemarau semacam ini. Lagi pula rumbut yang tumbuh tebal tersebut lebih kurang hanya
selebar 1 meter persegi. Karena selebar itulah air bekas curahan wudluku
memercik yang hamper setiap malam aku lakukan. Coba sekarang lihatlah rumput
yang menjadi saksiku setiap malam aku menuangkan air untuk berwudlu ! Aku
sedikit bersyukur ustadz karena bekas air wudluku setiap malam bisa untuk
diminum oleh sebagian makhluq Alloh yang tidak bisa mencari air sendiri.
Sehingga ia bisa tumbuh dan hidup dengan subur. Disisi lain mungkin ada juga makhluq
kecil yang memanfaatkan bekas air wudluku itu untuk kebutuhan hidupnya. Dengan
rumput yang tumbuh tebal itu aku tidak perlu membuat alas kaki yang bersih
untuk tempat berwudluku. Karena rumput itu sudah cukup suci untuk sebagai alas
kaki tempat berwudlu.
4.
Maka
bagiku Ilmu Laduni itu adalah ilmu yang hanya ada dalam cerita saja ustadz.
Bagiku Ilmu Laduni adalah ilmu yang didapat dengan cara berlajar giat,
niat yang benar, waktu yang cukup
panjang dan berdo’a kepada yang mempunyai ilmu. Agar diberikan ilmu oleh-Nya. Apakah sekarang ustadz sudah percaya terhadap apa yang aku sampaikan
?”
Ustadz
Zain meraih lampu sentir dari tumpukan 4 batu bata tersebut. Beliau berjalan
pelan – pelan menuju pojok yang ditunjukkan oleh Romi. Sampai di pojok ia
jongkok. Beliau mengamati rumput hijau yang tumbuh tebal selebar 1 meter
persegi dihadapannya. Beliau menaruh lampu sentir agak jauh di sebelah rumput
tebal itu. Lantas ia membelai rumput
hijau yang basah itu berkali – kali. Tampak bibirnya berkomat – kamit
melafalkan do’a. Entah do’a apa yang di ucapkan. Setelah sekian lama berkomat –
kamit wajah Ustadz Zain tersungkur dirumput hijau yang basah itu.
Setelah
sekian lama wajah Ustadz Zain tersungkur di rumput hijau yang tebal itu, pelan
– pelan diangkatnya kembali. Lantas beliau meraihnya kembali lampu sentir itu.
Kemudian berdiri dan berjalan dengan langkah gontai menuju kearah Romi duduk.
“Maafkan
Romi muridku yang cerdas ! Sekarang aku sangat percaya terhadap apa yang kamu
terangkan. Kamu ternyata luar biasa. Aku belum pernah melakukan seperti apa
yang kamu lakukan. Usahamu dalam hal memahami suatu ilmu sangat luar biasa
hebat. Usahamu dalam tholabul ilmu bagaikan ulama – ulama salaf. Ulama terdahulu yang terkenal sholih. Aku
hanya bisa mendo’akan suatu saat nanti kamu menjadi seorang ulama besar, kyai
terkenal yang sanggup membawa ummat kearah jalan yang benar Romi. Itu
harapanku. Akupun berharap mudah – mudahan suatu sa’at nanti aku mempunyai
putra dan putri bisa mencontoh perbuatanmu yang mulia ini. Atau bahkan kalau
engkau sudah menjadi kyai atau ulama besar aku berhasrat menitipkan anak –
anakku kepadamu. Setelah aku mendengarkan keteranganmu dan melihat kenyataan
ini, maka aku bisa menyimpulkan bahwa kamulah yang lebih pantas menjadi guruku.”
Sanjung Ustadz Zain dengan langkah
gontai.
_________________________
Insaalloh bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!