بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "
Malam
itu Mas Edy sopir pick up setelah sampai rumah gelisah. Ia sedih telah berkata
kasar kepada putra Kyia Roziq ketika dihadang di terminal Tuban. Ia takut kalau
kata – katanya yang kotor disampaikan kepada ustadznya, Kyai Roziq oleh Romi,
putranya. Ia berjanji ingin segera menemui Romi untuk meminta maaf. Ia juga
ingin berpesan agar perkataannya yang kotor itu tidak diceritakan kepada abahnya. ***
Romi
menapaki jalan menuju rumah kawannya yang ada disekitar Kantor Kecamatan Tambak
Boyo. Pakaiannya basah kuyup. Tidak sehelai benarpun yang masih kering. Tidak
sehelai rambutpun yang masih kering. Ia kedinginan.
Beberapa
menit kemudian sampailah dirumah kawannya. Lampu didalam rumah itu sudah
dipadamkan. Maka didalam rumah itu gelap.
Tidak tampak ada orang yang masih terjaga. Hanya lampu teras saja yang
masih dihidupkan.
Saat
yang demikian Romi bingung. Apa yang
harus dilakukan. Mau mengetuk pintu tidak sopan. Mau duduk diteras saja juga
tidak enak. Takut disangka penjahat. Dan yang paling menyiksa adalah semua
pakaiannya basah. Merasa dingin. Dan semakin dingin ketika angin laut
berhembus.
Romi
berjalan menuju masjid ditemani dengan rintik – rintik hujan dan hembusan angin
laut. Badannya yang masih basah semakin basah. Badannya yang sudah dingin semakin
dingin. Perutnya terasa sakit karena terlalu dingin itu.
Sampai
dimasjid Rmi segera menuju kekamar mandi. Ia membuka pakaian dan mencucinya.
Selasai dicuci pakaiannya itu diperasnya kuat – kuat untuk meminimkan air yang
melekat di kain pakaian itu. Kemudian pakaian itu dikibaskan beberapa kali agar
sisa air yang menempel di kain semakin
sedikit. Setelah itu kain dibeber di dekat listrik.
Romi
lantas mandi. Ia mandi tanpa pakai sabun dan keramas tanpa pakai sampo. Ia
hanya mandi dengan air saja. Ketika pertama kali menumpahkan air kebadannya air
terasa sangat dingin. Tetapi rasa dingin itu tidak dipedulikan.
Selesai
mandi Romi memakai pakaiannya yang masih basah itu. Lantas ia pergi keserambi
masjid. Dalam kondisi basah itu ia ingin melakukan sholat lail (sholat malam).
Ia tidak berani berdiri ditempat yang ada karpetnya. Takut karpetnya basah kena
air yang masih setia menempel dipakaiannya. Ia takut menyusahkan penjaga
masjid.
Setelah
memusatkan pikiran Romi melaksanakan sholat tahiyatul masjid dan dilanjutkan
sholat lail beberapa rokaat.
Beberapa
rokaat sholat malam telah Romi lakukan. Tiba – tiba Romi ingat peristiwa yang
dialami sepanjang hari. Ingat Tiara yang cantik yang selalu memburu dan
menggodanya. Ingat peristiwa dikeroyok oleh orang – orang diterminal. Ingat
wanita cantik di bis yang melemparkan kepalanya sehingga kepalanya membentur
dinding dengan keras. Ingat air liur busuknya menetes didada wanita tersebut.
Ingat dompetnya hilang. Ingat makan nasi di sebuah warung tanpa membawa uang,
sehingga penjual nasi menyuruhnya mencari pinjaman uang. Ingat ketika
menghadang mobil pick up dan menggertak sopirnya.
Ketika
ingat Tiara hatinya berbunga – bunga. Ia merasa bangga karena dirinya yang
hanya santri kampung dikejar – kejar oleh seorang gadis cantik kota Surabaya.
Gadis yang sudah kuliah lagi. Tetapi ia menyayangkan bahwa Tiara menggodanya
hanya dengan modal kecantikan, ilmu pengetahuan, dan harta saja. Gadis cantik
itu tidak punya modal agama yang cukup. Sehingga ia berakhlaq sesuai dengan
hawa nafsunya. Tidak berakhlaq dengan akhlaq islami. Kalau saja Tiara berakhlaq
islami ia mengharapkan untuk bisa hidup satu atap. Hidup dalam sebuah keluarga
yang dibina menurut Islam.
Romi
gelisah malam itu. Ia merasa bersalah kepada Tiara. Karena ia telah
berprasangka buruk terhadap Tiara. Ia telah memperlakukan Tiara kurang ramah. Ia
berjanji suatu ketika ia akan pergi menjumpai Tiara dan minta maaf.
Romi
merasa bersalah kepada Hasan, kawannya. Sebagai tamu ia seperti kurang
menghormati tuan rumahnya. Ia telah berdebat dengan kawannya itu dengan tegang.
Suatu ketika ia akan pergi kerumah kawannya itu lagi untuk minta maaf.
Romi
ingat juga seorang wanita cantik dalam bis yang duduk disebelah kirinya. Ia
merasa sangat bersalah dengan wanita itu. Karena ia telah membuat wanita itu
sakit hati dan marah berat. Karena air liurnya yang berbau busuk telah menetes
didada wanita tersebut. Ia berjanji kalau suatu ketika bisa berjumpa dengan
wanita itu lagi ia akan mengganti pakaian itu dengan satu stel pakaian yang
lebih bagus dari pada pakaian yang kena air liur busuknya. Ia berharap kata
maaf dari wanita itu.
Romi
ingat juga terhadap wanita penjual nasi krengsengan di terminal Tuban. Ia
merasa bersalah makan nasi krengsengan tidak membawa uang. Sehingga ia diusir
dan harus mencari uang pinjaman. Ia pamit mencari pinjaman, tetapi tidak
mencari pinjaman. Ia pulang. Ia berjanji kalau saja ia sudah bisa menjumpai
penjual nasi krengsengan tersebut ia akan membayar hutangnya tiga kali lipat.
Karena ia beranggapan, bahwa penjual nasi itu pertama sudah memberikan pinjaman
nasi krengsengan. Kedua, penjual tersebut sudah menjaga barang – barang
miliknya. Ketiga, penjual tersebut telah
bersikap sopan.
Romi
juga ingat ketika menghadang mobil kang Edy. Ia merasa bersalah karena ia telah
mengganggu perjalanan Kang Edy. Suatu ketika ia ingin memberikan bingkisan
untuk kang Edy.
Ketika
melamun semacam itu Romi tidak merasakan dingin lagi. Ia tidak merasakan
dinginnya pakaian basah. Dinginnya hembusan angin laut. Dan dinginnya malam. Rasa
dingin itu tertutpi oleh rasa gelisah dan salah.
Lamunan
Romi buyar ketika tiba – tiba ada suara sandal menuju masjid. Ia menoleh kearah
suara sandal tersebut. Ia melihat sesosok orang tua berjubah dengan mulut komat
– kamit menuju serambi masjid.
Romi
segera berdiri dan mendekati orang tua itu. Setelah dekat ia mengucapkan salam.
Lantas ia menjabat tangan dan mencium tangan orang tua tersebut.
“Assalamu’alaikum
Pak Ustadz ! Sudah masuk waktu shubuh ya ?” Sapa Romi kepada orang tua itu.
“Wa’alaikum
salam warohmah. Belum nak. Sebentar lagi.” Jawab orang tua berjubah itu.
“Kalau
sudah masuk waktu shubuh biar aku saja Pak Ustadz yang mengumandangkan adzan.”
“Boleh
– boleh. Tentu yang muda suara lebih merdu dan lebih lantang. Kalau lantang
biar orang – orang terbangun dan mau mengikuti jama’ah sholat shubuh. Tapi anak
dari mana dan mau kemana ?”
Romi
bingung mau menjawabnya. Karena kalau menjawab dengan jujur takutnya timbul
fitnah. Kalau menjawab dengan tidak jujur juga tidak enak. Maka ia menjawab
dengan jawaban yang mengambang saja.
“Maaf
Pak Ustadz ! Aku mau pulang ke Belik Anget, tapi kehujanan dan kemalaman.
Jadinya ya menginap dimasjid ini saja.”
“Ooo
… Belik Anget ?”
“Betul
Pak Ustadz. Belik Anget.”
“Belik
Anget sebelah mananya Pak Kyai Roziq ?”
“Dekatnya
sana Pak Ustadz.” Jawab Romi agak gemetaran.
“Kamu
punya nama siapa ?”
“Hemmm
… Rom.” Jawab Romi sedikit ragu.
“Namamu
Rom saja ? Pendek amat.”
“Nama
panggilan pak ustadz.”
“Ouw
…. Ya sudah. Itu sudah masuk waktu shubuh. Silahkan adzan ! Keraskan dan
merdukan suaramu. Agar orang – orang suka mendengarkan dan mau datang kemasjid
untu berjamaah sholat subuh !” Pinta pak tua berjubah putih itu.
Dengan
hanya memakai celana dan baju yang masih setengah basah Romi mendekati
mikropon. Ia mengatur nafas. Ia memilih lagu yang mendayu – dayu. Lagu seperti
orang menangis. Lagu Hijazi. Sebuah lagu yang dalam seni baca Al
– Qur’an biasa dibaca setelah melantunkan lagu Shoba. Dan dibaca
sebelum lagu Nahawan /Sika atau
lagu Rosta ‘alan nawa.
Pagi
shubuh itu orang – orang sekitar masjid dan para jama’ah sholat lima waktu
terperanjat mendengarkan suara adzan. Karena suara muadzin shubuh itu berbeda
dengan suara muadzin yang biasanya. Suara muadzin sehari – harinya tidak merdu
dan tiada berlagu serta lemah. Suara orang tua dan tidak menarik sama sekali.
Pagi shubuh itu pemanggil sholah jamaah bersuara keras, merdu dan menantang
untuk datang ke masjid. Maka pagi itu jama’ah sholat shubuh lebih banyak
dibanding dengan hari – hari sebelumnya. Mungkin mereka penasaran dengan
mu’adzinnya.
Orang
yang tidak kalah terkejutnya adalah orang tua berjubah yang datang paling
duluan ke masjid pagi itu. Ia mengamati Romi. Muadzin yang hanya memakai celana
dan baju itu. Muadzin yang tidak memakai peci.
Setelah
selesai sholat para jama’ah tidak segera pulang. Mereka berbisik – bisik.
Menanyakan mua’adzin yang suaranya merdu itu. Mereka menduga bahwa yang
melantunkan adzan adalah pemuda yang tampan, memakai pakaian sholat lengkap dan
alim. Tapi begitu tahu bahwa yang melantunkan adzan shubuh itu pemuda yang
hanya memakai celana dan baju saja, mereka kecewa. Apalagi setelah tahu bahwa
wajah muadzin tersebut bengkak dan kebiruan mereka takut dan ngeri. Maka segera
bubar. Pulang ke rumah masing - masing.
Namun
pagi itu tetap heboh. Mereka tidak henti – hentinya membicarakan mu’adzin yang
yang bertampang penjahat. Mu’adzin yang bersuara merdu bertampang benjol –
benjol layaknya penjahat yang baru dihajar masa saja.
Romi
malam itu harus puas tidur dengan duduk. Ia harus puas tidur berselimutkan
dengan celana dan baju basah. Hanya ditemani dengan hembusan dingin angin laut.
Gelap
semakin pudar setelah menunaikan sholat shubuh. Para jama’ah pulang diantar
dengan sapaan kokok – kokok ayam pagi. Di hibur dengan suara merdu ombak laut.
Sinar mentari pagipun mengalahkan gelapnya malam.***
__________________________-
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!