Jumat, 13 April 2012

KASIH TAK SAMPAI. 5 GELISAH (bag.28)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "


Malam itu Mas Edy sopir pick up setelah sampai rumah gelisah. Ia sedih telah berkata kasar kepada putra Kyia Roziq ketika dihadang di terminal Tuban. Ia takut kalau kata – katanya yang kotor disampaikan kepada ustadznya, Kyai Roziq oleh Romi, putranya. Ia berjanji ingin segera menemui Romi untuk meminta maaf. Ia juga ingin berpesan agar perkataannya yang kotor itu tidak  diceritakan kepada abahnya. ***


Romi menapaki jalan menuju rumah kawannya yang ada disekitar Kantor Kecamatan Tambak Boyo. Pakaiannya basah kuyup. Tidak sehelai benarpun yang masih kering. Tidak sehelai rambutpun yang masih kering. Ia kedinginan.

Beberapa menit kemudian sampailah dirumah kawannya. Lampu didalam rumah itu sudah dipadamkan. Maka didalam rumah itu gelap.  Tidak tampak ada orang yang masih terjaga. Hanya lampu teras saja yang masih dihidupkan. 

Saat yang demikian Romi bingung.  Apa yang harus dilakukan. Mau mengetuk pintu tidak sopan. Mau duduk diteras saja juga tidak enak. Takut disangka penjahat. Dan yang paling menyiksa adalah semua pakaiannya basah. Merasa dingin. Dan semakin dingin ketika angin laut berhembus.
Romi berjalan menuju masjid ditemani dengan rintik – rintik hujan dan hembusan angin laut. Badannya yang masih basah semakin basah. Badannya yang sudah dingin semakin dingin. Perutnya terasa sakit karena terlalu dingin itu. 

Sampai dimasjid Rmi segera menuju kekamar mandi. Ia membuka pakaian dan mencucinya. Selasai dicuci pakaiannya itu diperasnya kuat – kuat untuk meminimkan air yang melekat di kain pakaian itu. Kemudian pakaian itu dikibaskan beberapa kali agar sisa air yang  menempel di kain semakin sedikit. Setelah itu kain dibeber di dekat listrik.

Romi lantas mandi. Ia mandi tanpa pakai sabun dan keramas tanpa pakai sampo. Ia hanya mandi dengan air saja. Ketika pertama kali menumpahkan air kebadannya air terasa sangat dingin. Tetapi rasa dingin itu tidak dipedulikan.

Selesai mandi Romi memakai pakaiannya yang masih basah itu. Lantas ia pergi keserambi masjid. Dalam kondisi basah itu ia ingin melakukan sholat lail (sholat malam). Ia tidak berani berdiri ditempat yang ada karpetnya. Takut karpetnya basah kena air yang masih setia menempel dipakaiannya. Ia takut menyusahkan penjaga masjid.

Setelah memusatkan pikiran Romi melaksanakan sholat tahiyatul masjid dan dilanjutkan sholat lail beberapa rokaat. 

Beberapa rokaat sholat malam telah Romi lakukan. Tiba – tiba Romi ingat peristiwa yang dialami sepanjang hari. Ingat Tiara yang cantik yang selalu memburu dan menggodanya. Ingat peristiwa dikeroyok oleh orang – orang diterminal. Ingat wanita cantik di bis yang melemparkan kepalanya sehingga kepalanya membentur dinding dengan keras. Ingat air liur busuknya menetes didada wanita tersebut. Ingat dompetnya hilang. Ingat makan nasi di sebuah warung tanpa membawa uang, sehingga penjual nasi menyuruhnya mencari pinjaman uang. Ingat ketika menghadang mobil pick up dan menggertak sopirnya. 

Ketika ingat Tiara hatinya berbunga – bunga. Ia merasa bangga karena dirinya yang hanya santri kampung dikejar – kejar oleh seorang gadis cantik kota Surabaya. Gadis yang sudah kuliah lagi. Tetapi ia menyayangkan bahwa Tiara menggodanya hanya dengan modal kecantikan, ilmu pengetahuan, dan harta saja. Gadis cantik itu tidak punya modal agama yang cukup. Sehingga ia berakhlaq sesuai dengan hawa nafsunya. Tidak berakhlaq dengan akhlaq islami. Kalau saja Tiara berakhlaq islami ia mengharapkan untuk bisa hidup satu atap. Hidup dalam sebuah keluarga yang dibina menurut Islam.

Romi gelisah malam itu. Ia merasa bersalah kepada Tiara. Karena ia telah berprasangka buruk terhadap Tiara. Ia telah memperlakukan Tiara kurang ramah. Ia berjanji suatu ketika ia akan pergi menjumpai Tiara dan minta maaf.  

Romi merasa bersalah kepada Hasan, kawannya. Sebagai tamu ia seperti kurang menghormati tuan rumahnya. Ia telah berdebat dengan kawannya itu dengan tegang. Suatu ketika ia akan pergi kerumah kawannya itu lagi untuk minta maaf.

Romi ingat juga seorang wanita cantik dalam bis yang duduk disebelah kirinya. Ia merasa sangat bersalah dengan wanita itu. Karena ia telah membuat wanita itu sakit hati dan marah berat. Karena air liurnya yang berbau busuk telah menetes didada wanita tersebut. Ia berjanji kalau suatu ketika bisa berjumpa dengan wanita itu lagi ia akan mengganti pakaian itu dengan satu stel pakaian yang lebih bagus dari pada pakaian yang kena air liur busuknya. Ia berharap kata maaf dari wanita itu.

Romi ingat juga terhadap wanita penjual nasi krengsengan di terminal Tuban. Ia merasa bersalah makan nasi krengsengan tidak membawa uang. Sehingga ia diusir dan harus mencari uang pinjaman. Ia pamit mencari pinjaman, tetapi tidak mencari pinjaman. Ia pulang. Ia berjanji kalau saja ia sudah bisa menjumpai penjual nasi krengsengan tersebut ia akan membayar hutangnya tiga kali lipat. Karena ia beranggapan, bahwa penjual nasi itu pertama sudah memberikan pinjaman nasi krengsengan. Kedua, penjual tersebut sudah menjaga barang – barang miliknya. Ketiga, penjual tersebut telah  bersikap sopan.

Romi juga ingat ketika menghadang mobil kang Edy. Ia merasa bersalah karena ia telah mengganggu perjalanan Kang Edy. Suatu ketika ia ingin memberikan bingkisan untuk kang Edy.

Ketika melamun semacam itu Romi tidak merasakan dingin lagi. Ia tidak merasakan dinginnya pakaian basah. Dinginnya hembusan angin laut. Dan dinginnya malam. Rasa dingin itu tertutpi oleh rasa gelisah dan salah.

Lamunan Romi buyar ketika tiba – tiba ada suara sandal menuju masjid. Ia menoleh kearah suara sandal tersebut. Ia melihat sesosok orang tua berjubah dengan mulut komat – kamit menuju serambi masjid.

Romi segera berdiri dan mendekati orang tua itu. Setelah dekat ia mengucapkan salam. Lantas ia menjabat tangan dan mencium tangan orang tua tersebut.

“Assalamu’alaikum Pak Ustadz ! Sudah masuk waktu shubuh ya ?” Sapa Romi kepada orang tua itu.

“Wa’alaikum salam warohmah. Belum nak. Sebentar lagi.” Jawab orang tua berjubah itu.

“Kalau sudah masuk waktu shubuh biar aku saja Pak Ustadz yang mengumandangkan adzan.”

“Boleh – boleh. Tentu yang muda suara lebih merdu dan lebih lantang. Kalau lantang biar orang – orang terbangun dan mau mengikuti jama’ah sholat shubuh. Tapi anak dari mana dan mau kemana ?”

Romi bingung mau menjawabnya. Karena kalau menjawab dengan jujur takutnya timbul fitnah. Kalau menjawab dengan tidak jujur juga tidak enak. Maka ia menjawab dengan jawaban yang mengambang saja.

“Maaf Pak Ustadz ! Aku mau pulang ke Belik Anget, tapi kehujanan dan kemalaman. Jadinya ya menginap dimasjid ini saja.”

“Ooo … Belik Anget ?”

“Betul Pak Ustadz. Belik Anget.”

“Belik Anget sebelah mananya Pak Kyai Roziq ?”

“Dekatnya sana Pak Ustadz.” Jawab Romi agak gemetaran.

“Kamu punya nama siapa ?”

“Hemmm … Rom.” Jawab Romi sedikit ragu.

“Namamu Rom saja ? Pendek amat.”

“Nama panggilan pak ustadz.”


“Ouw …. Ya sudah. Itu sudah masuk waktu shubuh. Silahkan adzan ! Keraskan dan merdukan suaramu. Agar orang – orang suka mendengarkan dan mau datang kemasjid untu berjamaah sholat subuh !” Pinta pak tua berjubah putih itu.

Dengan hanya memakai celana dan baju yang masih setengah basah Romi mendekati mikropon. Ia mengatur nafas. Ia memilih lagu yang mendayu – dayu. Lagu seperti orang menangis. Lagu Hijazi. Sebuah lagu yang dalam seni baca Al – Qur’an biasa dibaca setelah melantunkan lagu Shoba. Dan dibaca sebelum lagu  Nahawan /Sika atau lagu Rosta ‘alan nawa.

Pagi shubuh itu orang – orang sekitar masjid dan para jama’ah sholat lima waktu terperanjat mendengarkan suara adzan. Karena suara muadzin shubuh itu berbeda dengan suara muadzin yang biasanya. Suara muadzin sehari – harinya tidak merdu dan tiada berlagu serta lemah. Suara orang tua dan tidak menarik sama sekali. Pagi shubuh itu pemanggil sholah jamaah bersuara keras, merdu dan menantang untuk datang ke masjid. Maka pagi itu jama’ah sholat shubuh lebih banyak dibanding dengan hari – hari sebelumnya. Mungkin mereka penasaran dengan mu’adzinnya.

Orang yang tidak kalah terkejutnya adalah orang tua berjubah yang datang paling duluan ke masjid pagi itu. Ia mengamati Romi. Muadzin yang hanya memakai celana dan baju itu. Muadzin yang tidak memakai peci.
Setelah selesai sholat para jama’ah tidak segera pulang. Mereka berbisik – bisik. Menanyakan mua’adzin yang suaranya merdu itu. Mereka menduga bahwa yang melantunkan adzan adalah pemuda yang tampan, memakai pakaian sholat lengkap dan alim. Tapi begitu tahu bahwa yang melantunkan adzan shubuh itu pemuda yang hanya memakai celana dan baju saja, mereka kecewa. Apalagi setelah tahu bahwa wajah muadzin tersebut bengkak dan kebiruan mereka takut dan ngeri. Maka segera bubar. Pulang ke rumah masing - masing.

Namun pagi itu tetap heboh. Mereka tidak henti – hentinya membicarakan mu’adzin yang yang bertampang penjahat. Mu’adzin yang bersuara merdu bertampang benjol – benjol layaknya penjahat yang baru dihajar masa saja. 

Romi malam itu harus puas tidur dengan duduk. Ia harus puas tidur berselimutkan dengan celana dan baju basah. Hanya ditemani dengan hembusan dingin angin laut. 

Gelap semakin pudar setelah menunaikan sholat shubuh. Para jama’ah pulang diantar dengan sapaan kokok – kokok ayam pagi. Di hibur dengan suara merdu ombak laut. Sinar mentari pagipun mengalahkan gelapnya malam.***
__________________________-
Insyaalloh bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!