بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "
Lelaki
itu mengamati tiga kartu tersebut. Selembar KTP, selembar kartu pelajar / OSIS,
dan selembar kartu santri.
KTP
itu menyebutkan dengan jelas dan lengkap alamat empunya. Kartu OSIS menyebutkan
bahwa empunya kartu adalah seorang pelajar di sebuah sekolah tingkat atas (SMA)
kelas tiga. Sedangkan kartu santrinya menyebutkan bahwa empunya kartu adalah
salah satu santri pondok pesantren di Sarang Rembang.
“Kalau
saja aku dekat sini, aku akan antarkan di pesantrennya. Karena pesantrennya
bisa dibilang pinggir jalan raya. Aku akan menginap dipesantrennya. Sayang aku
jauh mbak. Kalau tidak keberatan mbak sajalah yang membawa dompet ini. Kapan –
kapan bisa diantarkan ke pesantrennya.” Pinta lelaki tersebut.
“Peduli
amat. Biarkan sajalah !” Jawab wanita itu.
“Kasihan
mbak. Dia santri, bukan orang biasa mbak. Santri itu orang yang mempunyai
kedudukan lebih. Santri itu orang yang dekat dengan sang pencipta. Doanya
biasanya dikabul oleh Allah. Siapa tahu setelah kita menolongnya Allah juga
menolong kita. Rosul pernaha bersabda “Wallohu fi ‘aunil ngabdi makanal
‘abdu fi ‘auni akhihi. Artinya : Alloh akan menolong hamba-Nya selama hamba
tadi mau menolong saudaranya”. Apalagi orang yang mempunyai dompet ini
sekarang kelas tiga. Dia tentu akan sangat bersyukur kalau kita tolong. Artinya
dompetnya kita antarkan, maka ia akan mendoakan kita juga. Barang kali mbak
kelas tiga, bisa juga berkat menolong dia ujian mbak dipermudah oleh Alloh.”
Wanita
itu terdiam sejenak. Ia merenungi untaian kalimat lelaki tersebut. Ia juga
merasa heran mengapa lelaki tersebut sampai sejauh itu memikirkan orang lain.
Padahal biasanya lelaki itu lebih cuek dibanding perempuan. Ia ingat dirinya
juga kelas tiga. Tiba – tiba naluru kwanitaannya timbul. Begitu timbul naluri
keibuannya ia berguman “setiap orang lahir dari rahim ibunya, aku tidak
pantas sebagai wanita membiarkan nasibnya, membiarkan dompet milinya hilang sia
– sia.”
Tiba
– tiba air mata kewanitaannya merembes di pipinya yang halus. Wanita itu mengambil
kertas tisu dari sakunya. Ia mengusap air matanya dengan tisu itu beberapa
kali.
“Kalau
begitu biarlah aku yang membawa dompet itu. Aku kelas tiga juga mas. Sebentar
lagi dia ujian dan aku juga ujian. Siapa tahu dia juga berkenan mendoakanku
sehingga aku dapat kemudahan dalam mengerjakan soal. Aku bisa mendapatkan nilai
yang memuaskan. Dan aku merasa tersentuh dengan kata – katamu mas. Aku kasihan
dia. KTP, kartu pelajar dan kartu santri itu benda – benda yang sangat berharga
mas bagi seorang pelajar dan santri. Kapan – kapan ada sempat aku akan minta
tolong kepada seseorang untuk mengantarkan kartu – kartu kealamat rumah atau
kepesantrennya.”
“Terima
kasih mbak. Semoga saja berlimpah keberkahan bagi mbak.”
“Amin.
Ya mas. Harapanku begitu mas. Apakah mas juga santri ?”
“Ya,
aku juga santri.”
“Mas
nyantri di pesanten mana ?”
“Jauh
dari sini mbak. Aku nyantri dan menghafalkan Al – Qur’an di Pekalongan mbak.”
“Jauh
juga ya ?”
“Ya,
jauh.” Jawab seorang lelaki tersebut.
“Persiapan
Sobontoro. Silahkan menepi !” Teriak kernek bis.
“Ya
pak kernek.” Teriak wanita itu.
“Mas
santri, aku turun disini ya ?” Teriak wanita cantik kepada lelaki yang tadi
duduk disebelahnya.
Bis
menepi dan berhenti di kampung Sobontoro. Seorang wanita cantik turun dari bis.
Di tepi jalan sudah ada seorang lelaki yang sudah menunggunya. Lelaki tersebut
lebih muda dibanding wanita tersebut. Lelaki tersebut memakai jas hujan dan
duduk di motor TIGERnya.
“Kenapa
kali ini bibi Lia, pulang terlambat sampai larut malam ? Biasanya sebelum maghrib
sudah sampai ?” Tanya kemenakan laki - lakinya yang menjemput.
“Nanti
sajalah aku akan cerita. Aku lelah sekali.” Jawab bibinya, Lia.
Anak
lelaki muda itu memutar motornya. Kemudian menstart. Setelah bibinya, Lia naik
diatas jok anak muda laki – laki tncap gas menuju Desa Sawir. Sawir adalah Desa
kecil satu kilo meter disebelah selatan Desa Sobontoro.***
Sementara
itu Romi yang masih di terminal Tuban sedikit kebingungan. Ketika ia mau
membayar nasi krengsengan yang telah
dimakannya ia tidak punya apa – apa lagi. Ia merogoh sakunya untuk mengambil
dompet. Tetapi dompetnya tidak ada disaku celananya tersebut. Karena dompetnya
jatuh didalam bis. Sedangkan bis sudah meninggalkan terminal. Ia tidak mungkin
mengejar bis itu.
Romi
mau telpun keluarganya. Tetapi HPnya rusak kena rendam air ketika ia terjatuh
digenangan air hujan di terminal Bungurasih Surabaya. Mau ke wartel ia lupa
nomor yang mau dihubungi. Pada saat yang demikian Romi hampir kehabisan akal.
Romi
membongkar tas usangnya di meja warung nasi itu. Ia keluarkan segala isinya.
Seakan – akan ia mencari uang didalam tas tersebut. Al – Qur’an lusuh, sarung
lusuh, kaos sobek, sajadah usang, HP jadul, buku harian lusuh, dan fashdisk
kapasitas empat giga dikeluarkan semuanya.
Wanita
pemilik warung itu melihat semua isi tas tersbut. Wanita penjual nasi itu
trenyuh melihat Romi. Ternyata isi tas Romi hanya berisi barang – barang yang
bernilai ritual agama saja.
“Berapa
buk nasinya ?” Tanya Romi.
“Tujuh
ribu saja nak.” Jawab pemilik warung itu.
“Maaf
bu ! Dompetku tertinggal di bis. Semua uangku hilang dibis jurusan Jakarta tadi.
Bagaimana kalau aku bayar dengan barang yang aku miliki ini ? Ibu bisa memilih
barang yang mana yang ibu kehendaki ?”
“Hanya
tujuh ribu saja kok nak. Masak tujuh ribu saja tidak ada lagi ?”
“Betul
buk, aku tidak punya uang lagi. Atau bagaimana kalau aku tinggal disini semua
barangku ini. Kecuali HP jadulku ini. Dan insyaalloh besuk aku akan kembali
mengambil barang – barangku ini. Tapi sekarang aku pinjam uang sejumlah 25 ribu
dulu sama ibu untuk pulang kekampungku di Tambak Boyo.”
__________________________
Insyaalloh besambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!