Selasa, 10 April 2012

KASIH TAK SAMPAI. 4. Preman Yang Baik Hati (bag. 23)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "

Lelaki itu mengamati tiga kartu tersebut. Selembar KTP, selembar kartu pelajar / OSIS, dan selembar kartu santri. 

KTP itu menyebutkan dengan jelas dan lengkap alamat empunya. Kartu OSIS menyebutkan bahwa empunya kartu adalah seorang pelajar di sebuah sekolah tingkat atas (SMA) kelas tiga. Sedangkan kartu santrinya menyebutkan bahwa empunya kartu adalah salah satu santri pondok pesantren di Sarang Rembang.


“Kalau saja aku dekat sini, aku akan antarkan di pesantrennya. Karena pesantrennya bisa dibilang pinggir jalan raya. Aku akan menginap dipesantrennya. Sayang aku jauh mbak. Kalau tidak keberatan mbak sajalah yang membawa dompet ini. Kapan – kapan bisa diantarkan ke pesantrennya.” Pinta lelaki tersebut.

“Peduli amat. Biarkan sajalah !” Jawab wanita itu.

“Kasihan mbak. Dia santri, bukan orang biasa mbak. Santri itu orang yang mempunyai kedudukan lebih. Santri itu orang yang dekat dengan sang pencipta. Doanya biasanya dikabul oleh Allah. Siapa tahu setelah kita menolongnya Allah juga menolong kita. Rosul pernaha bersabda “Wallohu fi ‘aunil ngabdi makanal ‘abdu fi ‘auni akhihi. Artinya : Alloh akan menolong hamba-Nya selama hamba tadi mau menolong saudaranya”. Apalagi orang yang mempunyai dompet ini sekarang kelas tiga. Dia tentu akan sangat bersyukur kalau kita tolong. Artinya dompetnya kita antarkan, maka ia akan mendoakan kita juga. Barang kali mbak kelas tiga, bisa juga berkat menolong dia ujian mbak dipermudah oleh Alloh.”

Wanita itu terdiam sejenak. Ia merenungi untaian kalimat lelaki tersebut. Ia juga merasa heran mengapa lelaki tersebut sampai sejauh itu memikirkan orang lain. Padahal biasanya lelaki itu lebih cuek dibanding perempuan. Ia ingat dirinya juga kelas tiga. Tiba – tiba naluru kwanitaannya timbul. Begitu timbul naluri keibuannya ia berguman “setiap orang lahir dari rahim ibunya, aku tidak pantas sebagai wanita membiarkan nasibnya, membiarkan dompet milinya hilang sia – sia.”
 
Tiba – tiba air mata kewanitaannya merembes di pipinya yang halus. Wanita itu mengambil kertas tisu dari sakunya. Ia mengusap air matanya dengan tisu itu beberapa kali.

“Kalau begitu biarlah aku yang membawa dompet itu. Aku kelas tiga juga mas. Sebentar lagi dia ujian dan aku juga ujian. Siapa tahu dia juga berkenan mendoakanku sehingga aku dapat kemudahan dalam mengerjakan soal. Aku bisa mendapatkan nilai yang memuaskan. Dan aku merasa tersentuh dengan kata – katamu mas. Aku kasihan dia. KTP, kartu pelajar dan kartu santri itu benda – benda yang sangat berharga mas bagi seorang pelajar dan santri. Kapan – kapan ada sempat aku akan minta tolong kepada seseorang untuk mengantarkan kartu – kartu kealamat rumah atau kepesantrennya.”

“Terima kasih mbak. Semoga saja berlimpah keberkahan bagi mbak.”


“Amin. Ya mas. Harapanku begitu mas. Apakah mas juga santri ?”

“Ya, aku juga santri.”

“Mas nyantri di pesanten mana ?”

“Jauh dari sini mbak. Aku nyantri dan menghafalkan Al – Qur’an di Pekalongan mbak.”

“Jauh juga ya ?”

“Ya, jauh.” Jawab seorang lelaki tersebut.

“Persiapan Sobontoro. Silahkan menepi !” Teriak kernek bis.

“Ya pak kernek.” Teriak wanita itu.

“Mas santri, aku turun disini ya ?” Teriak wanita cantik kepada lelaki yang tadi duduk disebelahnya.
Bis menepi dan berhenti di kampung Sobontoro. Seorang wanita cantik turun dari bis. Di tepi jalan sudah ada seorang lelaki yang sudah menunggunya. Lelaki tersebut lebih muda dibanding wanita tersebut. Lelaki tersebut memakai jas hujan dan duduk di motor TIGERnya. 

“Kenapa kali ini bibi Lia, pulang terlambat sampai larut malam ? Biasanya sebelum maghrib sudah sampai ?” Tanya kemenakan laki - lakinya yang menjemput.

“Nanti sajalah aku akan cerita. Aku lelah sekali.” Jawab bibinya, Lia.

Anak lelaki muda itu memutar motornya. Kemudian menstart. Setelah bibinya, Lia naik diatas jok anak muda laki – laki tncap gas menuju Desa Sawir. Sawir adalah Desa kecil satu kilo meter disebelah selatan Desa Sobontoro.***

Sementara itu Romi yang masih di terminal Tuban sedikit kebingungan. Ketika ia mau membayar  nasi krengsengan yang telah dimakannya ia tidak punya apa – apa lagi. Ia merogoh sakunya untuk mengambil dompet. Tetapi dompetnya tidak ada disaku celananya tersebut. Karena dompetnya jatuh didalam bis. Sedangkan bis sudah meninggalkan terminal. Ia tidak mungkin mengejar bis itu.

Romi mau telpun keluarganya. Tetapi HPnya rusak kena rendam air ketika ia terjatuh digenangan air hujan di terminal Bungurasih Surabaya. Mau ke wartel ia lupa nomor yang mau dihubungi. Pada saat yang demikian Romi hampir kehabisan akal.

Romi membongkar tas usangnya di meja warung nasi itu. Ia keluarkan segala isinya. Seakan – akan ia mencari uang didalam tas tersebut. Al – Qur’an lusuh, sarung lusuh, kaos sobek, sajadah usang, HP jadul, buku harian lusuh, dan fashdisk kapasitas empat giga dikeluarkan semuanya.

Wanita pemilik warung itu melihat semua isi tas tersbut. Wanita penjual nasi itu trenyuh melihat Romi. Ternyata isi tas Romi hanya berisi barang – barang yang bernilai ritual agama saja.

“Berapa buk nasinya ?” Tanya Romi.

“Tujuh ribu saja nak.” Jawab pemilik warung itu.   

“Maaf bu ! Dompetku tertinggal di bis. Semua uangku hilang dibis jurusan Jakarta tadi. Bagaimana kalau aku bayar dengan barang yang aku miliki ini ? Ibu bisa memilih barang yang mana yang ibu kehendaki ?”

“Hanya tujuh ribu saja kok nak. Masak tujuh ribu saja tidak ada lagi ?”

“Betul buk, aku tidak punya uang lagi. Atau bagaimana kalau aku tinggal disini semua barangku ini. Kecuali HP jadulku ini. Dan insyaalloh besuk aku akan kembali mengambil barang – barangku ini. Tapi sekarang aku pinjam uang sejumlah 25 ribu dulu sama ibu untuk pulang kekampungku di Tambak Boyo.”
__________________________
Insyaalloh besambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!