Kedudukan Imam Abu Hanifah
Diantara faktor yang menempatkan imam abu hanifah pada posisi pertama dari empat imam madzhab fikih adalah tahun kelahiran dan wafatnya yang lebih awal dibanding imam-imam lainnya.
Beliau mendapat gelar yang bisa diibaratkan seperti matahari yang bergulir diantara gugusan ufuk, yaitu gelar “Imam Besar”. Juga para ulama memberi gelar sebagai “Ahli Fikih Dari Irak” dan “Imam Ahlu Ar Ra’yi”. Abdullah bin mubarak menjulukinya sebagai “Otaknya Ilmu”, sedangkan ibnu al juraj menjulukinya sebagai “Ahli Fikih”.
Kehidupan material dan sosial semakin berkembang sehingga menjamurlah beragam pendapat dalam khazanah fikih islam. Lahir pula berbagai madzhab dan dalam kehidupan ilmiyah dan agama muncullah dua pendekatan metode:
1. Manhaj naql atau madzhab ahlu hadits
Metode ini disebut al ittiba’I yang berarti membatasi pada nash-nash al quran dan periwayatan hadits nabi saw. Metode ini lebih banyak dianut umat, sebab umat islam selalu menjaga dan berpegang teguh terhadap apa yang diperintahkan dan yang diperbuat rasulullah. Sebab rasulullah adalah teladan tertiggi dan figur utama, dan penafsir pertama bagi agama islam.
2. Manhaj ‘aqli atau manhaj ahli ar ra’yi
Sebuah pendekatan yang memaksimalkan potensi akal dalam menerima dan meghargai nash, menggali hukum dan berijtihaj dalam menafsirkan nash
Abu hanifah mempunyai sekelompok guru diantaranya adalah:
1. Hammad Bin Abu Sulaiman Al Asy’ary
2. Zaid Bin Ali Zainal Abidin
3. Muhammad Al Baqir Zainal Abidin
4. Ja’far Ash Shadiq
5. Abdullah Bin Hasan
6. Jabir Bin Yazid Bin Ja’far
7. Ibrahim An Nakhai
8. Asy Sya’bi
9. ‘Ashim (salah satu dari imam qiraah as sab’ah)
Abu Hanifah adalah peletak dasar-dasar qiyas. Ia merintisnya, mencurahkan kesungguhannya dalam menerapkan qiyas, lalu para ulama sesudahnya menyempurnakannya.
2. Abu Abdillah Muhammad Bin Hasan Asy Syaibani (132-189 H). Beliu belajar ilmu kepada abu hanifah ketika masih berumur 20 tahun. Ketika Abu Hanifah meninggal, ia belajar kepada Abu Yusuf Dan Al Auza’i, Sufyan Atsaury. Asy syaibani pandai dalam pemecahan masalah berhitung. Kitab-kitab yang beliau tulis adalah; al mabsuth, az ziyadat, al jami’ al kabir, al jami’ ash shaghir, as sair al kabir, as sair ash shaghir, ar rad ‘ala ahli al madinah, dan lainnya. Yang paling terkenal adalah al mabsuth.
3. Zufar Bin Huzail (110-158 H). Setelah Abu Hanifah meninggal ia belajar kepada Abu Yusuf Dan Asy Syaibany. Beliau juga menjabat sebagai qadhi di Bashrah.
4. Hasan Bin Ziyad Al Lu’lu’i Al Kuti (meninggal 204 H). Belia terkenal dalam periwayatan hadits dan juga sempat menjadi qadhi dikufah pada tahun 194 H. ia memiliki berbagai kitab diantaranya; Aadab Al Qadhi, Al Khishal, Ma’ani Al Iman, An Nafaqat, Al Kharaaj, Al Faraaidh, Al Washaya, Al Mujarrad Dan Al Amaly.
Ibnu Nadim berkata, “Yang menjadikan fikih Abu Hanifah tumbuh subur dan dibutuhkan adalah karena illatnya (sebab hukum) yang jelas dan didukung oleh hadits, sehingga dapat diterima.
1. Alquran
2. Hadits
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istihsan, Al Urf
Abu hanifah berkata, “Dalam memutuskan hukum aku mengambil dari kitab Allah. Jika tak aku teukan, maka dengan sunnah rasulullah saw. Jika aku tak mendapatkannya dalam kitab Allah dan sunnah rasulNya, maka aku mengikuti pendapat shahabat. Aku mengambil ucapan mereka dan meninggalkan sesuai keinginanku. Aku tidak akan mencari pendapat lain diluar pandangan mereka”. Beliau tak mengambil pendapat tabiin karena mereka derajatnya sama.
Abu Hanifah dalam membangun madzhabnya tetap berpijak pada hal-hal berikut:
1. Mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah. Seperti; jika badan atau pakaian terkena najis maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci seperti air bunga wamar dan alkohol dan tidak terbatas pada air saja.
2. Berpihak pada yang fakir dan lemah. Seperti, abu hanifah mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak; sehingga zakat-zakat itu dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir.
3. Pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Seperti, bahwa keislaman anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai islam yang benar sebagaimana orang dewasa.
4. Menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Seperti, abu hanifaf mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan dirinya sendiri dan nikahnya sah. Begitu juga laki-laki yang menikahkan anaknya yang sudah baligh kemudian anak itu menolaknya dan tidak suka maka nikahnya, tidak sah.
5. Kendali pemerintahan ditangan seorang imam (penguasa). Maka kewajiban pemimpin untuk mengatur kekayaan umat islam yang membentang luas diatas bumi untuk kemaslahatan umat.
Beliau juga pernah berkata, “Demi Allah, orang yang mengatakan bahwa kami mendahulukan qiyas daripada nash telah berdusta. Apakah masih perlu qiyas jika ada nash?.
Beliau berkata, “Kami tidak menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat mendesak. Jika kami tidak menemukan dalil, kami gunakan qiyas.
“Sesungguhnya pertama-tama, kami mengambil dalil dari al quran lalu sunnah lalu perkataan shahabat yang sudah disepakati oleh mereka. Jika mereka berselisih, kami mengkiyaskan (menganalogikan) hukum dengan hukum lain karena adanya persamaan illat (sebab) antara dua masalah tersebut sehingga terdapat kejelasan makna.” Beliau juga mengambil hadits mutawatir, masyhur dan ahad.
Zufar berkata, “Janganlah anda terpengaruh dengan perkataan orang-orang yang tidak setuju. Sesungguhnya Abu Hanifah dan shahabat-shahabat kami tidak pernah mengatakan tentang suatu masalah kecuali berdasarkan kepada dalil alquran, hadits, perkataan-perkataan shahabat setelah itu baru menggunakan qiyas.
Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih mengetahui tentang tafsir hadits dan tafsir tentang fiqih melebihi Abu Hanifah.
Abu Hanifah tidak sombong bahkan beliau tidak memaksa orang lain untuk mengikutinya. Beliau berkata, “Pendapat kami ini hanyalah sekedar pendapat. Itu yang terbaik yang dapat kami usahakan. Siapa membawa pendapat yang lebih baik maka pendapat itu lebih benar daripada pendapat kami.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa, Abu Hanifah pernah haji sebanyak 50 kali. Dalam perkembangan madzhabnya terdapat pembahasan yang dikenal dengan nama “Fannu Al Hiyal” (metode siasat). Maksudnya adalah memadukan antara realita kehidupan dengan nash-nash agama. Metode ini muncul dikalangan fuqaha kufah yang berasal dari madrasah Abu Hanifah.
Sebab timbulnya metode ini adalah adanya hubungan antara fuqaha dengan para khalifah dan keinginan para penguasa dan khalifah agar terdapat kesepakatan dan legitimasi fuqaha terhadap masalah yang terjadi diwaktu itu. Yang pertama kali mencetuskan metode ini adalah Abu Yusuf.
Menurut Abu Hanifah, kekuasaan itu tidak diwariskan, tidak diwasiatkan, tidak ditentukan (ditunjuk) oleh manusia. Tapi dilakukan dengan baiat yang bebas. Beliau berkata, “Khalifah itu dibentuk dengan kesepakatan dan musyawarah umat islam”.
1. Imam syafii berkata,”Semua orang dalam ilmu fikih menginduk kepada abu hanifah. Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti tentang fikih maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan shababat-shahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fikih menginduk kepadanya.”
2. Abdullah Bin Mubarrak berkata, “Jika atsar (riwayat) itu telah dikenal dan membutuhkan pendapat, maka diantara pendapat Malik, Sufyan dan Abu Hanifah maka pendapat Abu Hanifahlah yang terbaik, paling cemerlang dan menguasai fikih. Dia juga berkata, “Jika seseorang diperkenankan untuk berkata dengan pendapatnya maka Abu Hanifahlah yang berhak untuk berkata dengan pendapatnya.
3. Nadhir Bin Syamil berkata, “Sesungguhnya orang-orang itu terlalai dari fikih sehingga Abu Hanifah membangunkan mereka dengan keterangan, penjelasan dan ilmunya.
4. Khalaf Bin Ayub berkata, “Ilmu itu datang dari Allah swt kepada Muhammad Saw kemudian kepada shahabat-shahabatnya kemudian kepada para tabiin kemudian kepada Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya. Selanjutnya terserah bagi seseorang untuk ridha atau tidak.
5. Sufyan Bin Uyainah, “Ada dua hal yang menurutnya tidak akan tertandigi sebagai aset Kufah yang telah menyebar disegala penjuru dunia, yaitu pertama, qiraah Hamzah dan pendapat Abu Hanifah.
6. Ma’mar Bin Rasyid berkata, “Aku belum pernah tahu orang yang lebih bagus berbicara tentang fikih, mengupas tentang fikih dan membentangkan kepada orang lain jalan bagi kemajuan fikih dan lebih alim melebihi Abu Hanifah.
7. Al Hakam Bin Abdullah berkata, “Aku belum pernah berjumpa dengan ahlu hadits yang lebih pandai dari Sufyan Ats Tsaury tapi Abu Hanifah lebih pandai darinya.
8. Yazid Bin Harun berkata, “Sufyan lebih banyak menghafal hadits tapi Abu Hanifah lebih alim.
Abu Hanifah melakukan shalat subuh dengan wudhu shalat isya’ selama 40 tahun. Sya’rani kelihatan agak kelebihan dalam menerangkan sifat abu hanifah. Seperti dalam ucapannya bahwa abu hanifah telah mengkhatamkan Al Quran ditempat dimana ia meninggal selama 700 kali. Dia shalat lima waktu dengan satu wudhu selama 40 tahun. Dalam setiap shalat tahajutnya Abu Hanifah senagn mengulangi bacaan-bacaan ayat al quran sebanyak 10 kali.
Diantara faktor yang menempatkan imam abu hanifah pada posisi pertama dari empat imam madzhab fikih adalah tahun kelahiran dan wafatnya yang lebih awal dibanding imam-imam lainnya.
Beliau mendapat gelar yang bisa diibaratkan seperti matahari yang bergulir diantara gugusan ufuk, yaitu gelar “Imam Besar”. Juga para ulama memberi gelar sebagai “Ahli Fikih Dari Irak” dan “Imam Ahlu Ar Ra’yi”. Abdullah bin mubarak menjulukinya sebagai “Otaknya Ilmu”, sedangkan ibnu al juraj menjulukinya sebagai “Ahli Fikih”.
- Perjalanan Hidupnya
Kehidupan material dan sosial semakin berkembang sehingga menjamurlah beragam pendapat dalam khazanah fikih islam. Lahir pula berbagai madzhab dan dalam kehidupan ilmiyah dan agama muncullah dua pendekatan metode:
1. Manhaj naql atau madzhab ahlu hadits
Metode ini disebut al ittiba’I yang berarti membatasi pada nash-nash al quran dan periwayatan hadits nabi saw. Metode ini lebih banyak dianut umat, sebab umat islam selalu menjaga dan berpegang teguh terhadap apa yang diperintahkan dan yang diperbuat rasulullah. Sebab rasulullah adalah teladan tertiggi dan figur utama, dan penafsir pertama bagi agama islam.
2. Manhaj ‘aqli atau manhaj ahli ar ra’yi
Sebuah pendekatan yang memaksimalkan potensi akal dalam menerima dan meghargai nash, menggali hukum dan berijtihaj dalam menafsirkan nash
- Keturunannya
- Perniagaan Yang Sukses
- Pengembaraan Menuntut Ilmu
- Guru-gurunya
Abu hanifah mempunyai sekelompok guru diantaranya adalah:
1. Hammad Bin Abu Sulaiman Al Asy’ary
2. Zaid Bin Ali Zainal Abidin
3. Muhammad Al Baqir Zainal Abidin
4. Ja’far Ash Shadiq
5. Abdullah Bin Hasan
6. Jabir Bin Yazid Bin Ja’far
7. Ibrahim An Nakhai
8. Asy Sya’bi
9. ‘Ashim (salah satu dari imam qiraah as sab’ah)
Abu Hanifah adalah peletak dasar-dasar qiyas. Ia merintisnya, mencurahkan kesungguhannya dalam menerapkan qiyas, lalu para ulama sesudahnya menyempurnakannya.
- Majlis Imam Abu Hanifah
- Murid-murid Imam Abu Hanifah
2. Abu Abdillah Muhammad Bin Hasan Asy Syaibani (132-189 H). Beliu belajar ilmu kepada abu hanifah ketika masih berumur 20 tahun. Ketika Abu Hanifah meninggal, ia belajar kepada Abu Yusuf Dan Al Auza’i, Sufyan Atsaury. Asy syaibani pandai dalam pemecahan masalah berhitung. Kitab-kitab yang beliau tulis adalah; al mabsuth, az ziyadat, al jami’ al kabir, al jami’ ash shaghir, as sair al kabir, as sair ash shaghir, ar rad ‘ala ahli al madinah, dan lainnya. Yang paling terkenal adalah al mabsuth.
3. Zufar Bin Huzail (110-158 H). Setelah Abu Hanifah meninggal ia belajar kepada Abu Yusuf Dan Asy Syaibany. Beliau juga menjabat sebagai qadhi di Bashrah.
4. Hasan Bin Ziyad Al Lu’lu’i Al Kuti (meninggal 204 H). Belia terkenal dalam periwayatan hadits dan juga sempat menjadi qadhi dikufah pada tahun 194 H. ia memiliki berbagai kitab diantaranya; Aadab Al Qadhi, Al Khishal, Ma’ani Al Iman, An Nafaqat, Al Kharaaj, Al Faraaidh, Al Washaya, Al Mujarrad Dan Al Amaly.
Ibnu Nadim berkata, “Yang menjadikan fikih Abu Hanifah tumbuh subur dan dibutuhkan adalah karena illatnya (sebab hukum) yang jelas dan didukung oleh hadits, sehingga dapat diterima.
- Pilar-pilar Madzhab Imam Abu Hanifah Dan Hadits Nabi Saw
1. Alquran
2. Hadits
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istihsan, Al Urf
Abu hanifah berkata, “Dalam memutuskan hukum aku mengambil dari kitab Allah. Jika tak aku teukan, maka dengan sunnah rasulullah saw. Jika aku tak mendapatkannya dalam kitab Allah dan sunnah rasulNya, maka aku mengikuti pendapat shahabat. Aku mengambil ucapan mereka dan meninggalkan sesuai keinginanku. Aku tidak akan mencari pendapat lain diluar pandangan mereka”. Beliau tak mengambil pendapat tabiin karena mereka derajatnya sama.
Abu Hanifah dalam membangun madzhabnya tetap berpijak pada hal-hal berikut:
1. Mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah. Seperti; jika badan atau pakaian terkena najis maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci seperti air bunga wamar dan alkohol dan tidak terbatas pada air saja.
2. Berpihak pada yang fakir dan lemah. Seperti, abu hanifah mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak; sehingga zakat-zakat itu dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir.
3. Pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Seperti, bahwa keislaman anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai islam yang benar sebagaimana orang dewasa.
4. Menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Seperti, abu hanifaf mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan dirinya sendiri dan nikahnya sah. Begitu juga laki-laki yang menikahkan anaknya yang sudah baligh kemudian anak itu menolaknya dan tidak suka maka nikahnya, tidak sah.
5. Kendali pemerintahan ditangan seorang imam (penguasa). Maka kewajiban pemimpin untuk mengatur kekayaan umat islam yang membentang luas diatas bumi untuk kemaslahatan umat.
- Abu Hanifah Dan Hadits Nabi Saw
Beliau juga pernah berkata, “Demi Allah, orang yang mengatakan bahwa kami mendahulukan qiyas daripada nash telah berdusta. Apakah masih perlu qiyas jika ada nash?.
Beliau berkata, “Kami tidak menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat mendesak. Jika kami tidak menemukan dalil, kami gunakan qiyas.
“Sesungguhnya pertama-tama, kami mengambil dalil dari al quran lalu sunnah lalu perkataan shahabat yang sudah disepakati oleh mereka. Jika mereka berselisih, kami mengkiyaskan (menganalogikan) hukum dengan hukum lain karena adanya persamaan illat (sebab) antara dua masalah tersebut sehingga terdapat kejelasan makna.” Beliau juga mengambil hadits mutawatir, masyhur dan ahad.
Zufar berkata, “Janganlah anda terpengaruh dengan perkataan orang-orang yang tidak setuju. Sesungguhnya Abu Hanifah dan shahabat-shahabat kami tidak pernah mengatakan tentang suatu masalah kecuali berdasarkan kepada dalil alquran, hadits, perkataan-perkataan shahabat setelah itu baru menggunakan qiyas.
Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih mengetahui tentang tafsir hadits dan tafsir tentang fiqih melebihi Abu Hanifah.
Abu Hanifah tidak sombong bahkan beliau tidak memaksa orang lain untuk mengikutinya. Beliau berkata, “Pendapat kami ini hanyalah sekedar pendapat. Itu yang terbaik yang dapat kami usahakan. Siapa membawa pendapat yang lebih baik maka pendapat itu lebih benar daripada pendapat kami.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa, Abu Hanifah pernah haji sebanyak 50 kali. Dalam perkembangan madzhabnya terdapat pembahasan yang dikenal dengan nama “Fannu Al Hiyal” (metode siasat). Maksudnya adalah memadukan antara realita kehidupan dengan nash-nash agama. Metode ini muncul dikalangan fuqaha kufah yang berasal dari madrasah Abu Hanifah.
Sebab timbulnya metode ini adalah adanya hubungan antara fuqaha dengan para khalifah dan keinginan para penguasa dan khalifah agar terdapat kesepakatan dan legitimasi fuqaha terhadap masalah yang terjadi diwaktu itu. Yang pertama kali mencetuskan metode ini adalah Abu Yusuf.
- Pandangan Politik Imam Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah, kekuasaan itu tidak diwariskan, tidak diwasiatkan, tidak ditentukan (ditunjuk) oleh manusia. Tapi dilakukan dengan baiat yang bebas. Beliau berkata, “Khalifah itu dibentuk dengan kesepakatan dan musyawarah umat islam”.
- Wasiat Imam Abu Hanifah
- Komentar Ulama-Ulama Salaf Terhadap Imam Abu Hanifah
1. Imam syafii berkata,”Semua orang dalam ilmu fikih menginduk kepada abu hanifah. Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti tentang fikih maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan shababat-shahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fikih menginduk kepadanya.”
2. Abdullah Bin Mubarrak berkata, “Jika atsar (riwayat) itu telah dikenal dan membutuhkan pendapat, maka diantara pendapat Malik, Sufyan dan Abu Hanifah maka pendapat Abu Hanifahlah yang terbaik, paling cemerlang dan menguasai fikih. Dia juga berkata, “Jika seseorang diperkenankan untuk berkata dengan pendapatnya maka Abu Hanifahlah yang berhak untuk berkata dengan pendapatnya.
3. Nadhir Bin Syamil berkata, “Sesungguhnya orang-orang itu terlalai dari fikih sehingga Abu Hanifah membangunkan mereka dengan keterangan, penjelasan dan ilmunya.
4. Khalaf Bin Ayub berkata, “Ilmu itu datang dari Allah swt kepada Muhammad Saw kemudian kepada shahabat-shahabatnya kemudian kepada para tabiin kemudian kepada Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya. Selanjutnya terserah bagi seseorang untuk ridha atau tidak.
5. Sufyan Bin Uyainah, “Ada dua hal yang menurutnya tidak akan tertandigi sebagai aset Kufah yang telah menyebar disegala penjuru dunia, yaitu pertama, qiraah Hamzah dan pendapat Abu Hanifah.
6. Ma’mar Bin Rasyid berkata, “Aku belum pernah tahu orang yang lebih bagus berbicara tentang fikih, mengupas tentang fikih dan membentangkan kepada orang lain jalan bagi kemajuan fikih dan lebih alim melebihi Abu Hanifah.
7. Al Hakam Bin Abdullah berkata, “Aku belum pernah berjumpa dengan ahlu hadits yang lebih pandai dari Sufyan Ats Tsaury tapi Abu Hanifah lebih pandai darinya.
8. Yazid Bin Harun berkata, “Sufyan lebih banyak menghafal hadits tapi Abu Hanifah lebih alim.
- Pribadi Imam Abu Hanifah
- Ibadah Imam Abi Hanifah
Abu Hanifah melakukan shalat subuh dengan wudhu shalat isya’ selama 40 tahun. Sya’rani kelihatan agak kelebihan dalam menerangkan sifat abu hanifah. Seperti dalam ucapannya bahwa abu hanifah telah mengkhatamkan Al Quran ditempat dimana ia meninggal selama 700 kali. Dia shalat lima waktu dengan satu wudhu selama 40 tahun. Dalam setiap shalat tahajutnya Abu Hanifah senagn mengulangi bacaan-bacaan ayat al quran sebanyak 10 kali.
- Wafatnya Imam Abu Hanifah
perbedaan antara Mazhab hanafi dan syafi'i sangat kental. sampe2 yg fanatik ke Abu Hanifah blg, Imam Syafii mendekam dlm rahim ibunya selama 11 bln krn takut sama Abu Hanifah smpe bliau mninggal. yg fanatik sama Imam Syafii blg, imam kami yg hebat, Abu Hanifah meninggal krn takut Imam Syafii akan melahirkan pada hari yg sama :D
BalasHapusKita sebagai orang kecil husnudh-dhon
BalasHapus