Senin, 09 April 2012

KASIH TAK SAMPAI. 4. PReman Yang Baik Hati (bag. 20)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "

Pukul 15.30 terminal Bungurasih masih diguyur hujan lebat. Belum ada tanda – tanda untuk mereda. Awan hitam dan tebal masih menyelimuti langit  Surabaya dan sekitarnya. Air diterminal semakin menggenang.
Saat itu Romi masih didalam pos polisi unit terminal Bungurasih. Ia masih duduk di bangku pojok pos polisi tersebut. Ia merasakan ada rasa sakit di wajahnya. Ia meraba dengan tangan kirinya bagian yang terasa sakit itu. Terasa ada benjolan – benjolan di beberpa bagian wajahnya. Karena penasaran ia berusaha untuk bercermin. Ketika bercermin itu ia terkejut. Karena wajahnya tampak seperti wajah penjahat yang baru saja dihajar oleh orang banyak. Bahkan wajahnya lebih menyerupai hantu dari pada wajah manusia.  Beberapa bagian bengkak dan membiru. Di bagian yang lain lecet – lecet berwarna hitam kecoklatan. Wajah tampannya hilang sama sekali. Tertelan oleh benjolan dan lecet – lecet tersebut.


Setelah tas usangnya oleh polisi diserahkan kembali, Romi segera pergi menuju kamar mandi. Ia mandi dan berganti pakaian. Pakaian yang sudah lusuh dan kotor serta berbau dari dalam tasnya dipakai lagi. Sedangkan pakaiannya yang basah yang baru dipakai dimasukkan kedalam tas. Walaupun pakaian itu sudah jelek dan sobek tetap dibawa pulang juga. Ia berfikir ingin mengabadikan peristiwa itu dengan menyimpan kaosnya yang kotor dan sobek tersebut.

Selesai mandi ia keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ke tempat pak polisi. Ia pamit pulang ke Tuban. 

Setelah pak polisi mengijinkan pulang Romi mendekati Tiara. Beberapa saat ia diam dihadapan Tiara. Ia mau mengucapkan sesuatu. Tetapi terasa agak berat. Ia memandang wajah Tiara sepintas. Kemudian kembali menunduk. 

Kedua tangan Romi masih memegang tas bodolnya. Jemari kedua tangannya memainkan kancingan tas yang jelek itu. Sedangkan kedua kakinya tampak gemetaran.

“Tiara, maafkan aku ! Karena aku telah membuatmu susah dan malu.” Sapa Romi kepada Tiara dengan suara bergetar dan terputus - putus.

Tiara tidak langsung menjawab sapa Romi itu. Ia mengangkat kepalanya dan memandang wajah Romi yang penuh dengan benjolan itu. Hatinya berdesir. Ia merasa sangat bersalah. Kalau saja ia tidak gegabah menarik tas Romi. Maka ketampanan wajah Romi yang alami masih bisa dinikmati. 

“Akulah yang seharusnya minta maaf. Karena akulah yang bersalah. Aku telah mencelakakanmu dengan menarik tasmu dari belakang. Sampai kamu jatuh terjerembab ke genangan air hujan. Sehingga orang - orang diterminal ini menganggapmu pencopet.” Jawab Tiara dengan suara yang bergetar pula.

“Bukan. Yang salah bukan kamu. Tapi aku. Aku tidak bisa membalas atas kebaikan dan pertolonganmu. Mungkin hanya kata “TERIMA KASIH” yang bisa aku berikan kepadamu.”

“Pertolongan apa ?”

Romi memandang tasnya yang putus talinya. Kemudian sambil mengangkat tasnya menjawab pertanyaan Tiara itu.

“Ini, tasku yang jelek ini. Tidak sepantasnya gadis secantik Tiara memegang tas yang jelek seperti ini di terminal yang ramai ini. Dengan membawa tas ini tentu harga diri atau gengsi Tiara telah jatuh dihadapan mereka.”

Hati Tiara berbunga – bunga ketika mendengarkan kalimat Romi yang menyanjungnya dengan kalimat “gadis secantik Tiara”. Ia ingin mendengarkan kalimat itu sekali lagi. Ia berfikir bahwa Romipun ternyata mengakui kecantikannya. Ia berharap kalimat Romi ini cerminan hatinya. Bukan saja mulutnya yang mengucapkan. Tetapi hatinya mengakui tentang kecantikan dirinya. Ia berharap suatu ketika Romi membutuhkan dan mencari dirinya.

“Tidak. Aku tidak merasa gengsiku jatuh. Aku sangat bangga. Karena ternyata tas ini lebih berharga dari semua apa yang aku punya. Ternyata dalam tas ini tersimpan Kitab Yang Agung. Yaitu Kitab Al – Qur’an. Justru aku bangga bisa membawakan tasmu. Aku bangga karena ada kesempatan membelai tas yang indah itu. Wajah tasnya jelek tetapi isinya sangat indah. Walaupun aku  belum sanggup membelai yang mempunyai tas itu. Aku berharap belaianku tehadap tas ini dirasakan pula oleh empunya tas. Aku berharap suatu ketika aku sanggup membelai yang mempunyai tas itu.” Rayu Tiara dalam kesempatan yang sangat sempit itu.

Romi menunduk. Ia malu. Karena Tiara masih juga merayu dihadapan pak polisi.

“Maaf Tiara ! Aku harus pulang sekarang juga. Assalamu’alaikum.” Pamit Romi kepada Tiara.

“Sebentar mas ! Aku minta nomor HP dan  minta alamatnya mas.” Pinta Tiara.

“Maaf aku tidak punya HP. Kalau alamat minta saja kepada mas Hasan yang rumahnya berhadapan dengan Tiara. Atau minta saja kepada pak polisi. Karena tadi alamatku sudah dicatat lengkap oleh pak polisi.” Jawab Romi.

Selesai mengucapkan kalimat itu Romi bergegas pergi menuju ke bis jurusan Jakarta. Seperti tidak mempedulikan Tiara lagi. Ia tidak mengulurkan tangan untuk jabat tangan dengan Tiara. Ia hanya melambaikan tangan tiga kali. Setelah itu ia mengejar bis jurusan Jakarta yang sudah mulai berjalan menuju kearah timur sambil menutupi wajahnya yang bengkak dan lecet - lecet. 

Saat itu Tiara hanya bisa memandangi langkah – langkah Romi. Segala langkah Romi diikuti dengan pandangan matanya tanpa kedip. Ia juga melambaikan tangannya tiada henti sampai bis berjalan dan tiada tampak lagi. Ketika bis tidak tampak lagi Tiara merasa hampa. Seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Seakan hatinya ikut terbawa Romi. 

Beberapa saat Tiara masih berdiri  memandang kearah hilangnya bis. Ia masih mengharapkan bisa melihat bis yang ditumpangi Romi. Tapi harapannya hama. Ia baru sadar dari lamunan indah itu ketika ditegur oleh pak polisi yang sedang keluar untuk melihat suasana.

“Masih disini ? Menunggu siapa ?” Tegur pak polisi.
_____________________
Insyaalloh bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!