بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "
Pukul
15.30 terminal Bungurasih masih diguyur hujan lebat. Belum ada tanda – tanda
untuk mereda. Awan hitam dan tebal masih menyelimuti langit Surabaya dan sekitarnya. Air diterminal
semakin menggenang.
Saat
itu Romi masih didalam pos polisi unit terminal Bungurasih. Ia masih duduk di
bangku pojok pos polisi tersebut. Ia merasakan ada rasa sakit di wajahnya. Ia
meraba dengan tangan kirinya bagian yang terasa sakit itu. Terasa ada benjolan
– benjolan di beberpa bagian wajahnya. Karena penasaran ia berusaha untuk
bercermin. Ketika bercermin itu ia terkejut. Karena wajahnya tampak seperti
wajah penjahat yang baru saja dihajar oleh orang banyak. Bahkan wajahnya lebih
menyerupai hantu dari pada wajah manusia. Beberapa bagian bengkak dan membiru. Di bagian
yang lain lecet – lecet berwarna hitam kecoklatan. Wajah tampannya hilang sama
sekali. Tertelan oleh benjolan dan lecet – lecet tersebut.
Setelah
tas usangnya oleh polisi diserahkan kembali, Romi segera pergi menuju kamar
mandi. Ia mandi dan berganti pakaian. Pakaian yang sudah lusuh dan kotor serta
berbau dari dalam tasnya dipakai lagi. Sedangkan pakaiannya yang basah yang
baru dipakai dimasukkan kedalam tas. Walaupun pakaian itu sudah jelek dan sobek
tetap dibawa pulang juga. Ia berfikir ingin mengabadikan peristiwa itu dengan
menyimpan kaosnya yang kotor dan sobek tersebut.
Selesai
mandi ia keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ke tempat pak polisi. Ia
pamit pulang ke Tuban.
Setelah
pak polisi mengijinkan pulang Romi mendekati Tiara. Beberapa saat ia diam
dihadapan Tiara. Ia mau mengucapkan sesuatu. Tetapi terasa agak berat. Ia
memandang wajah Tiara sepintas. Kemudian kembali menunduk.
Kedua
tangan Romi masih memegang tas bodolnya. Jemari kedua tangannya memainkan
kancingan tas yang jelek itu. Sedangkan kedua kakinya tampak gemetaran.
“Tiara,
maafkan aku ! Karena aku telah membuatmu susah dan malu.” Sapa Romi kepada
Tiara dengan suara bergetar dan terputus - putus.
Tiara
tidak langsung menjawab sapa Romi itu. Ia mengangkat kepalanya dan memandang wajah
Romi yang penuh dengan benjolan itu. Hatinya berdesir. Ia merasa sangat
bersalah. Kalau saja ia tidak gegabah menarik tas Romi. Maka ketampanan wajah
Romi yang alami masih bisa dinikmati.
“Akulah
yang seharusnya minta maaf. Karena akulah yang bersalah. Aku telah
mencelakakanmu dengan menarik tasmu dari belakang. Sampai kamu jatuh terjerembab
ke genangan air hujan. Sehingga orang - orang diterminal ini menganggapmu
pencopet.” Jawab Tiara dengan suara yang bergetar pula.
“Bukan.
Yang salah bukan kamu. Tapi aku. Aku tidak bisa membalas atas kebaikan dan
pertolonganmu. Mungkin hanya kata “TERIMA KASIH” yang bisa aku
berikan kepadamu.”
“Pertolongan
apa ?”
Romi
memandang tasnya yang putus talinya. Kemudian sambil mengangkat tasnya menjawab
pertanyaan Tiara itu.
“Ini,
tasku yang jelek ini. Tidak sepantasnya gadis secantik Tiara
memegang tas yang jelek seperti ini di terminal yang ramai ini. Dengan membawa
tas ini tentu harga diri atau gengsi Tiara telah jatuh dihadapan mereka.”
Hati
Tiara berbunga – bunga ketika mendengarkan kalimat Romi yang menyanjungnya
dengan kalimat “gadis secantik Tiara”. Ia ingin mendengarkan
kalimat itu sekali lagi. Ia berfikir bahwa Romipun ternyata mengakui
kecantikannya. Ia berharap kalimat Romi ini cerminan hatinya. Bukan saja
mulutnya yang mengucapkan. Tetapi hatinya mengakui tentang kecantikan dirinya.
Ia berharap suatu ketika Romi membutuhkan dan mencari dirinya.
“Tidak.
Aku tidak merasa gengsiku jatuh. Aku sangat bangga. Karena ternyata tas ini
lebih berharga dari semua apa yang aku punya. Ternyata dalam tas ini tersimpan
Kitab Yang Agung. Yaitu Kitab Al – Qur’an. Justru aku bangga bisa membawakan
tasmu. Aku bangga karena ada kesempatan membelai tas yang indah itu. Wajah
tasnya jelek tetapi isinya sangat indah. Walaupun aku belum sanggup membelai yang mempunyai
tas itu. Aku berharap belaianku tehadap tas ini dirasakan pula oleh
empunya tas. Aku berharap suatu ketika aku sanggup membelai yang mempunyai tas
itu.” Rayu Tiara dalam kesempatan yang sangat sempit itu.
Romi
menunduk. Ia malu. Karena Tiara masih juga merayu dihadapan pak polisi.
“Maaf
Tiara ! Aku harus pulang sekarang juga. Assalamu’alaikum.” Pamit Romi kepada
Tiara.
“Sebentar
mas ! Aku minta nomor HP dan minta
alamatnya mas.” Pinta Tiara.
“Maaf
aku tidak punya HP. Kalau alamat minta saja kepada mas Hasan yang rumahnya
berhadapan dengan Tiara. Atau minta saja kepada pak polisi. Karena tadi
alamatku sudah dicatat lengkap oleh pak polisi.” Jawab Romi.
Selesai
mengucapkan kalimat itu Romi bergegas pergi menuju ke bis jurusan Jakarta.
Seperti tidak mempedulikan Tiara lagi. Ia tidak mengulurkan tangan untuk jabat
tangan dengan Tiara. Ia hanya melambaikan tangan tiga kali. Setelah itu ia
mengejar bis jurusan Jakarta yang sudah mulai berjalan menuju kearah timur
sambil menutupi wajahnya yang bengkak dan lecet - lecet.
Saat
itu Tiara hanya bisa memandangi langkah – langkah Romi. Segala langkah Romi
diikuti dengan pandangan matanya tanpa kedip. Ia juga melambaikan tangannya
tiada henti sampai bis berjalan dan tiada tampak lagi. Ketika bis tidak tampak
lagi Tiara merasa hampa. Seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Seakan
hatinya ikut terbawa Romi.
Beberapa
saat Tiara masih berdiri memandang
kearah hilangnya bis. Ia masih mengharapkan bisa melihat bis yang ditumpangi
Romi. Tapi harapannya hama. Ia baru sadar dari lamunan indah itu ketika ditegur
oleh pak polisi yang sedang keluar untuk melihat suasana.
“Masih
disini ? Menunggu siapa ?” Tegur pak polisi.
_____________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!