Jumat, 27 April 2012

KASIH TAK SAMPAI. 5. Kata Maaf yang Indah (bag. 37)




Bismillahirrohmanirrohim !!! 
 
“Bibi masih juga belum percaya ya ?”


“Aku tidak percaya sama. Aku bisa percaya kalau bisa kamu sambungkan dengan ustadzmu. Kalau ustadzmu yang berbicara baru aku percaya. Bisakah kamu menyambungkan dengan ustadzmu ?”

“Maaf bibi ! Aku sekarang tidak dipesantren. Aku lagi diluar pesantren. HP yang aku pakai tilpun ini HP biasanya itu. HP milik kenalanku pemuda kampung.”

“Betul kan ? Kamu menipu bibimu sendiri. Coba kalau kamu berkata benar tolong sambungkan bibi dengan ustadzmu !”

“Baiklah kalau begitu. Aku akan kembali ke pesantren dan menemui ustadzku.”

Lia heran terhadap kemenakannya itu. Ia tidak percaya sama sekali terhadap hadiah untuk dirinya dari ustadznya kemenakannya itu. Karena dirinya yang merasa salah.

Beberapa saat kemudian HP Lia berdering lagi. Ia membuka HPnya.

“Bagaiaman Syukur ? Bisakah aku disambungkan dengan ustadzmu ?” Tanya Lia kepada Syukur.

“Maaf bibi ! Beliau tidak bersedia berbicara dengan bibi. Beliau malu bibi.” Jawab Syukur.

“Ah …kamu pandai beralasan saja. Kamu ternyata menipuku.”

“Betul bibi. Beliau tidak bersedia berbicara dengan bibi. Beliau malu katanya malu.”

“Hemmm … Memang kamu yang mempermainkan bibimu. Awas kalau pulang nati ya ?” Ancam Lia dengan suara geram.

“Sumpah bibi, beliau tidak mau berbicara dengan bibi. Maafkan aku bibi ! Aku tidak menipu bibi. Aku berkata benaran.”

“Hei, Syukur seperti apa sih ustadzmu itu ? Kenapa sombong sekali ? Sudah merasa paling hebat ya ?”

“Kenapa bibi marah – marah sama aku dan mencaci ustadzku ? Beliau tidak salah bibi.”

“Tapi dia sombong amat. Diajak berbicara sebentar saja mengapa tidak mau ? Apa dia terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu ? Apa dia menganggap bibimu ini orang jelek, orang jahat, orang tidak berpendidikan. Hemmm … !”

Walapun tidak begitu jelas Romli tahu dan mendengarkan kemarahan Lia, bibinya Syukur itu. Ia merasa tidak enak. Ia tidak mau berbicara bukan karena sombong. Tapi ia malu terhadap Lia. Malu atas perbuatannya tiga minggu yang lewat. Ia masih ingat cacian Lia didalam bis. 

“Ada apa Syukur dengan bibimu ?” Tanya Romi terhadap Syukur.

“Dia marah – marah ustadz.” Syukur.

“Marah terhadap siapa ?”

“Marah sama ….” Jawab Syukur tidak melanjutkan perkataannya.

“Dia marah sama aku ?” Tanya Romi dengan penuh keheranan.

“Betul usatdz. Ia marah dengan ustadz.”

“Kenapa dia marah kepadaku ?”  

“Karena ustadz tidak mau diajak berbicara barang sebentar dengannya.” Jawab Syukur dengan suara terputus – putus.

“Kalau begitu biar akulah yang mendengarkan kemarahannya. Mana HPnya ?”

Syukur memberikan HP itu kepada ustadznya.

“Assalamu’alaikum. Bibi masih disana ?” Salam Romi kepada bibinya Syukur, Lia dengan suara halus.

“Siapa ini ?” Tanya Lia dengan nada tinggi.

“Maaf aku Romi ! Ini siapa, bibinya Syukur ya ?” Tanya Romi dengan suara halusnya.

“Romi siapa ?” Suara Lia masih tinggi.

“Romi pemuda yang pernah membuatmu jengkel didalam bis itu.”

“Oou …. Ustadznya Syukur yang sombong itu ya ?”

“Betul. Aku Romi, tapi bukan ustadznya Syukur. Aku hanya kawannya dipesantren. Ada apa marah – marah sama Syukur ?”

“Aku tidak marah – marah kepada Syukur. Aku marah kepadamu.”

“Kenapa marah mbak ?”

“Kamu sombong amat. Mau diajak berbicara sebentar saja tidak mau. Apakah kamu sudah terlalu sibuk. Apakah waktumu harus dihargai dengan uang ? Dasar pemuda sombong.”

“Maaf mbak ! Aku sebenarnya ingin berbicara dengan mbak. Tapi aku merasa sangat malu. Karena akhlaqmu sangat mulia. Ternyata mbak lebih baik dariku.”

“Hei pemuda jelek ! Tengah malam semacam ini tidak pantas pemuda merayu wanita.” Suara Lia bernada tinggi.

“Aku tidak merayumu. Asal tahu saja bahwa mbak telah aku permalukan didalam bis saat itu. Tapi mbak masih juga mau membawakan dompetku yang tertinggal di bis saat itu. Tanpa kepedulian mbak tentu dompetku sudah hilang. Maka aku akan repot. Saat ini aku sangat membutuhkan isi dompet itu, yaitu KTP. Dan karena itulah aku berterima kasih dan minta maaf kepada mbak melalui lesan Syukur. Terima kasih atas kebaikan mbak. Dan minta maaf karena aku telah menyakiti dan merepotkan mbak sepanjang perjalanan.”

“Bukan aku yang merawat dompetmu. Tapi orang lain. Dia adalah santri Pekalongan.”

“Aku tidak bisa bicara lebih panjang lagi dengan mbak. Karena ternyata yang tidak mau berbicara adalah  mbak sendiri. Bukan aku. Sekian mohon maaf ya ? Wassalamu’alaikum.” Romi menutup pembicaraannya dengan hati yang sangat sedih.
_ ________________________
Insyaalloh bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!