Bismillahirrohmanirrohim !!!
“Bibi
masih juga belum percaya ya ?”
“Aku
tidak percaya sama. Aku bisa percaya kalau bisa kamu sambungkan dengan
ustadzmu. Kalau ustadzmu yang berbicara baru aku percaya. Bisakah kamu
menyambungkan dengan ustadzmu ?”
“Maaf
bibi ! Aku sekarang tidak dipesantren. Aku lagi diluar pesantren. HP yang aku
pakai tilpun ini HP biasanya itu. HP milik kenalanku pemuda kampung.”
“Betul
kan ? Kamu menipu bibimu sendiri. Coba kalau kamu berkata benar tolong
sambungkan bibi dengan ustadzmu !”
“Baiklah
kalau begitu. Aku akan kembali ke pesantren dan menemui ustadzku.”
Lia
heran terhadap kemenakannya itu. Ia tidak percaya sama sekali terhadap hadiah
untuk dirinya dari ustadznya kemenakannya itu. Karena dirinya yang merasa
salah.
Beberapa
saat kemudian HP Lia berdering lagi. Ia membuka HPnya.
“Bagaiaman
Syukur ? Bisakah aku disambungkan dengan ustadzmu ?” Tanya Lia kepada Syukur.
“Maaf
bibi ! Beliau tidak bersedia berbicara dengan bibi. Beliau malu bibi.” Jawab
Syukur.
“Ah
…kamu pandai beralasan saja. Kamu ternyata menipuku.”
“Betul
bibi. Beliau tidak bersedia berbicara dengan bibi. Beliau malu katanya malu.”
“Hemmm
… Memang kamu yang mempermainkan bibimu. Awas kalau pulang nati ya ?” Ancam Lia
dengan suara geram.
“Sumpah
bibi, beliau tidak mau berbicara dengan bibi. Maafkan aku bibi ! Aku tidak
menipu bibi. Aku berkata benaran.”
“Hei,
Syukur seperti apa sih ustadzmu itu ? Kenapa sombong sekali ? Sudah merasa
paling hebat ya ?”
“Kenapa
bibi marah – marah sama aku dan mencaci ustadzku ? Beliau tidak salah bibi.”
“Tapi
dia sombong amat. Diajak berbicara sebentar saja mengapa tidak mau ? Apa dia
terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu ? Apa dia menganggap bibimu ini orang
jelek, orang jahat, orang tidak berpendidikan. Hemmm … !”
Walapun
tidak begitu jelas Romli tahu dan mendengarkan kemarahan Lia, bibinya Syukur
itu. Ia merasa tidak enak. Ia tidak mau berbicara bukan karena sombong. Tapi ia
malu terhadap Lia. Malu atas perbuatannya tiga minggu yang lewat. Ia masih
ingat cacian Lia didalam bis.
“Ada
apa Syukur dengan bibimu ?” Tanya Romi terhadap Syukur.
“Dia
marah – marah ustadz.” Syukur.
“Marah
terhadap siapa ?”
“Marah
sama ….” Jawab Syukur tidak melanjutkan perkataannya.
“Dia
marah sama aku ?” Tanya Romi dengan penuh keheranan.
“Betul
usatdz. Ia marah dengan ustadz.”
“Kenapa
dia marah kepadaku ?”
“Karena
ustadz tidak mau diajak berbicara barang sebentar dengannya.” Jawab Syukur
dengan suara terputus – putus.
“Kalau
begitu biar akulah yang mendengarkan kemarahannya. Mana HPnya ?”
Syukur
memberikan HP itu kepada ustadznya.
“Assalamu’alaikum.
Bibi masih disana ?” Salam Romi kepada bibinya Syukur, Lia dengan suara halus.
“Siapa
ini ?” Tanya Lia dengan nada tinggi.
“Maaf
aku Romi ! Ini siapa, bibinya Syukur ya ?” Tanya Romi dengan suara halusnya.
“Romi
siapa ?” Suara Lia masih tinggi.
“Romi
pemuda yang pernah membuatmu jengkel didalam bis itu.”
“Oou
…. Ustadznya Syukur yang sombong itu ya ?”
“Betul.
Aku Romi, tapi bukan ustadznya Syukur. Aku hanya kawannya dipesantren. Ada apa
marah – marah sama Syukur ?”
“Aku
tidak marah – marah kepada Syukur. Aku marah kepadamu.”
“Kenapa
marah mbak ?”
“Kamu
sombong amat. Mau diajak berbicara sebentar saja tidak mau. Apakah kamu sudah
terlalu sibuk. Apakah waktumu harus dihargai dengan uang ? Dasar pemuda
sombong.”
“Maaf
mbak ! Aku sebenarnya ingin berbicara dengan mbak. Tapi aku merasa sangat malu.
Karena akhlaqmu sangat mulia. Ternyata mbak lebih baik dariku.”
“Hei
pemuda jelek ! Tengah malam semacam ini tidak pantas pemuda merayu wanita.”
Suara Lia bernada tinggi.
“Aku
tidak merayumu. Asal tahu saja bahwa mbak telah aku permalukan didalam bis saat
itu. Tapi mbak masih juga mau membawakan dompetku yang tertinggal di bis saat
itu. Tanpa kepedulian mbak tentu dompetku sudah hilang. Maka aku akan repot.
Saat ini aku sangat membutuhkan isi dompet itu, yaitu KTP. Dan karena itulah
aku berterima kasih dan minta maaf kepada mbak melalui lesan Syukur. Terima
kasih atas kebaikan mbak. Dan minta maaf karena aku telah menyakiti dan
merepotkan mbak sepanjang perjalanan.”
“Bukan
aku yang merawat dompetmu. Tapi orang lain. Dia adalah santri Pekalongan.”
“Aku
tidak bisa bicara lebih panjang lagi dengan mbak. Karena ternyata yang tidak
mau berbicara adalah mbak sendiri. Bukan
aku. Sekian mohon maaf ya ? Wassalamu’alaikum.” Romi menutup pembicaraannya
dengan hati yang sangat sedih.
_ ________________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!