بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "
Saat
itu di belahan bumi Desa Sawir masih hujan. Rintik – rintik air masih menyapa
dedaunan. Masih menyapa bumi. Begitu sampai rumah Lia segera melepaskan pakaian
kotornya. Ia melemparkan pakaian tadi dibak tempat pakaian kotor. Segera ia
menyambar handuk dan pergi kekamar mandi.
Selesai
mandi ia pergi kekamar dan tidak keluar lagi. Ia penasaran terhadap dompet yang
ditemukan di dalam bis. Ia penasaran terhadap pemuda yang duduk disebeleh
kanannya di bis. Pemuda yang telah menumpahkan air liurnya dibajunya sampai
tembus kulit dadanya. Ia ingin mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu.
Lia
membuka dompet itu pelan – pelan dengan hati dag dig dug. Kemudian mengeluarkan
semua isinya. Diamatinya KTP, kartu santri dan kartu OSISnya.
Setelah
mengamati KTP, karyu santri dan kartu OSISnya ia tahu bahwa nama empunya dompet
adalah Romi.
Kemudian
Lia mengamati foto yang ada di KTP. Tetapi foto itu terlalu kecil. Sehingga
tidak begitu jelas wajah Romi. Lantas ia mengamati kartu OSISnya. Tetapi foto
yang dikartu ini juga tidak begitu jelas. Selanjutnya ia mengamti foto yang ada
di kartu santri. Foto yang berada di kartu santri ini agak lebih besar. Dibanding
dengan foto di kedua kartu ini yang menempel di kartu santri lebih jelas. Ia
mengamati dengan sekesama foto ini. Ia membandingkan dengan bayangan wajah Romi
yang ia jumpai di bis. Ia menyimpulkan tidak ada kesamaan. Karena wajah yang ia
dapati di bis bengkak – bengkak. Sedang wajah yang ada dalam kartu santri tidak
ada bengkaknya. Ia menyimpulkan wajah yang ada di kartu santri jauh lebih tampan dibanding dengan wajah yang ada di
jumpai di bis.
“Bibi
! Mana oleh – olehnya untuk mama dan adikku ? Katanya mau membelikan oleh –
oleh.” Panggil kemenakannya, Syukur dari luar kamar.
“Sebentar
! Bibi masih ganti pakaian.” Jawab Lia beralasan.
“Tapi
sudah lama aku menunggu. Mama dan adikku keburu terlelap tidur nanti.”
“Ya,
tunggu sebentar !” Pinta Lia terhadap putra mbakyunya, Syukur.
Lia
keluar dari kamar. Tangan kirinya menenteng tas kresek berisi kue pudak. Sedang
tangan kanannya memegang dompet jelek.
“Ini,
bibi hanya membeli pudak. Hujan tiada henti, jadi bibi tidak bisa belanja lebih
leluasa lagi.”
“Hehehehe….
Bibi mau ngasih uang juga kan ?” Tanya Syukur.
“Uang
untuk apa ?”
“Uang
untuk ojeknya bibi. Itu bibi pegang dompet. Mesti bibi akan nagsih uang.”
“Hemmm
…. Ini bukan dompet bibi. Tapi ini dompet penumpang yang duduk disebelah bibi.
Penumpang yang sudah membuat bibi tersiksa.” Jawab Lia.
“Ouu
…. Jadi bibi merampas dompetnya ? Bibi jahat kali.”
“Tidak
begitu. Dia mengantuk dan berkali kali kepalanya disandarkan dibahu dan dada
bibi. Jadinya bibi sangat jengkel. Dan yang paling jengkel ia sampai
menumpahkan air liur di baju bibi. Itu tengok air liurnya yang busuk masih bisa
dilihat di baju dalam bak pakaian kotor itu.”
“Ah
yang benar bibi bilang. Masak ia tega sengaja menumpahkan air liurnya di baju
bibi ?”
“Katanya
sih tidak sengaja. Tapi masak sepanjang perjalanan ia tidur melulu. Maka ketika
itu kepalanya aku benturkan kedinding bis sebelah kirinya. Agar ia terbangun.
Setelah terbangun ia minta maaf. Kemudian ia turun di terminal Tuban. Padahal
rencananya turun di Tambak Boyo.”
“Oouu
… begitu. Adakah KTP, atau kartu tanda pengenal lain bibi ?” Tanya Syukur
kepada bibinya.
“Ada.
Bahkan kartu tanda pengenalnya ada tiga didalam dompet itu. KTP, kartu OSIS dan
kartu santri.”
“Coba
aku lihat bibi !”
Lia
memberikan dompet itu kepada Syukur, kemenakannya. Syukur membuka dompet itu.
Ia mengamati tiga kartu tanda pengenal. KTP Desa Belik Anget, kartu OSIS, dan
kartu santri. Beberapa saat ia mengamati.
“Astaghfirullohal
adhim. Hemmm…!” Gumam Syukur.
“Kenapa
?”
“Kalau
kartu ini benar miliknya, maka ia adalah ustadzku. Aku akan malu menyerahkan
dompet ini bibi.”
“Apakah
benar itu ustadzmu ?”
“Ya.
Dia ustadz yang luar biasa hebat bibi. Dia di pesantren terkenal mempunyai ilmu
laduni. Ilmu yang tanpa belajar bisa dikuasai.”
Lia
terdiam. Ia merenungkan kembali kekasarannya didalam bis terhadap orang yang
disebutkan sebagai ustadz kemenakannya itu. Ia mencari cara agar tidak bisa
ketahuan oleh orang yang pernah dihinakan dalam bis itu.
“Kalau
begitu dompet itu berikan kepadanya tanpa menyebutkan siapa yang menemukan.
Sehingga dia tidak mengetahui kalau bibi yang telah menemukan dan yang berbuat
kasar kepadanya.”
“Bagaimana
Syukur bisa berbohong kepada ustadznya sendiri bibi.”
“Demi
untuk menjaga keselamatan bibimu sendiri.”
“Apakah
tidak sebaiknya bibi minta maaf saja kepada beliau.”
“Hemmm
… Bagaimana ya enaknya ?”
“Menurut
Syukur lebih baik minta maaf saja bibi. Karena lain kali kalau berjumpa tidak
ada rasa malu lagi bibi.”
“Ya
sudah, aku pikir dulu. Besuk ya, aku kasih jawabannya. Sekarang pulanglah !”
Syukur
keluar rumah bibinya dengan membawa oleh – oleh dari bibinya. Sampai diluar ia
langsung menstart motor Tigernya dan tancap gas menuju rumahnya.
Syukur
ikut gelisah atas peristiwa yang menimpa gurunya gara – gara bibinya itu. Ia
menjadi repot mau memberikan dompet ustadznya dipesantren. Kalau ketahuan yang
sudah berlaku kasar adalah bibinya maka ia sangat malu. Mungkin di pesantren
tidak bisa akrab dengan ustadz yang dikaguminya itu seperti dulu lagi.
Sejak
mengetahui bahwa pemuda yang kepalanya ia sodok dengan keras itu adalah ustadz
kemenakannya, Lia tidak bisa tenang. Malam itu Lia hamper tidak bisa tidur. Ia
hanya berfikir bagaimana cara untuk menghindari beretmu dengan pemuda yang
telah ia sakiti itu. Ia berharap kalaulah lain kali berjumpa mudah – mudahan
dalam perjumpaan yang menyenangkan.
Maka
sejak itu ia selalu berdoa dan mengirim fatihah untuk pemuda, Romi yang telah ia sakiti itu. Ia sangat berharap
agar kalau suatu ketika berjumpa Alloh memberikan perjumpaan yang sangat indah.
***
Ketika
Romi keluar dari warungnya, penjual nasi diterminal itu mengikuti langkah –
langkah Romi dengan pandangan matanya. Ia juga melihat ketika Romi menghadang
puluhan mobil dan mobil itu tidak ada yang mau berhenti. Ia melihat baju Romi
basah kuyup. Ia juga melihat ketika Romi berdiri ditengah – tengah jalan untuk
memberhentikan mobil dengan paksa.
Ketika
mau tidur melihat putra – putrinya ia langsung teringat kepada pemuda yang baru saja membeli nasi di
warungnya. Ia menyesal telah memperlakukan pemuda itu dengan perlakuan yang
kurang baik. Ketika itu naluri kewanitaannya timbul. Naluri keibuannya muncul.
Ia menyesal tidak mau menolong orang yang benar – benar dalam kesusahan. Padahal
pemuda itu begitu tulusnya mengatakan keadaan dirinya. Pemuda itu sampai mengeluarkan apa yang ada
dalam tasnya. Empunya warung penjual nasi di terminal Tuban malam itu gelisah.
Saat
itu penjual nasi tersebut bergumam “Aku tidak selayaknya memperlakukannya
sekeji itu. Hanya sepiring nasi sisa sangat tidak berarti. Hanya uang tujuh
ribu tidak ada nilainya dibanding dengan kesedihan yang ditanggung pemuda itu.
Aku berjanji suatu ketika dia kesini untuk melunasi hutangnya kepadaku, maka
akan aku beri makan sepuasnya tanpa bayar. Dan akan aku beri nasi untuk dibawa
pulang pula. Aku benar – benar menyesal.”***
Malam
itu Mas Edy sopir pick up setelah sampai rumah gelisah. Ia sedih telah berkata
kasar kepada putra Kyia Roziq ketika dihadang di terminal Tuban. Ia takut kalau
kata – katanya yang kotor disampaikan kepada ustadznya, Kyai Roziq oleh Romi,
putranya. Ia berjanji ingin segera menemui Romi untuk meminta maaf. Ia juga
ingin berpesan agar perkataannya yang kotor itu tidak diceritakan kepada abahnya. ***
__________________________-
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!