Kamis, 12 April 2012

KASIH TAK SAMPAI. 5 GELISAH (bag.27)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ   

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang "


Saat itu di belahan bumi Desa Sawir masih hujan. Rintik – rintik air masih menyapa dedaunan. Masih menyapa bumi. Begitu sampai rumah Lia segera melepaskan pakaian kotornya. Ia melemparkan pakaian tadi dibak tempat pakaian kotor. Segera ia menyambar handuk dan pergi kekamar mandi.  
Selesai mandi ia pergi kekamar dan tidak keluar lagi. Ia penasaran terhadap dompet yang ditemukan di dalam bis. Ia penasaran terhadap pemuda yang duduk disebeleh kanannya di bis. Pemuda yang telah menumpahkan air liurnya dibajunya sampai tembus kulit dadanya. Ia ingin mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu.

Lia membuka dompet itu pelan – pelan dengan hati dag dig dug. Kemudian mengeluarkan semua isinya. Diamatinya KTP, kartu santri dan kartu OSISnya. 

Setelah mengamati KTP, karyu santri dan kartu OSISnya ia tahu bahwa nama empunya dompet adalah Romi. 

Kemudian Lia mengamati foto yang ada di KTP. Tetapi foto itu terlalu kecil. Sehingga tidak begitu jelas wajah Romi. Lantas ia mengamati kartu OSISnya. Tetapi foto yang dikartu ini juga tidak begitu jelas. Selanjutnya ia mengamti foto yang ada di kartu santri. Foto yang berada di kartu santri ini agak lebih besar. Dibanding dengan foto di kedua kartu ini yang menempel di kartu santri lebih jelas. Ia mengamati dengan sekesama foto ini. Ia membandingkan dengan bayangan wajah Romi yang ia jumpai di bis. Ia menyimpulkan tidak ada kesamaan. Karena wajah yang ia dapati di bis bengkak – bengkak. Sedang wajah yang ada dalam kartu santri tidak ada bengkaknya. Ia menyimpulkan wajah yang ada di kartu santri jauh lebih  tampan dibanding dengan wajah yang ada di jumpai di bis.    

“Bibi ! Mana oleh – olehnya untuk mama dan adikku ? Katanya mau membelikan oleh – oleh.” Panggil kemenakannya, Syukur dari luar kamar.

“Sebentar ! Bibi masih ganti pakaian.” Jawab Lia beralasan.

“Tapi sudah lama aku menunggu. Mama dan adikku keburu terlelap tidur nanti.”

“Ya, tunggu sebentar !” Pinta Lia terhadap putra mbakyunya, Syukur.

Lia keluar dari kamar. Tangan kirinya menenteng tas kresek berisi kue pudak. Sedang tangan kanannya memegang dompet jelek.

“Ini, bibi hanya membeli pudak. Hujan tiada henti, jadi bibi tidak bisa belanja lebih leluasa lagi.” 

“Hehehehe…. Bibi mau ngasih uang juga kan ?” Tanya Syukur.

“Uang untuk apa ?”

“Uang untuk ojeknya bibi. Itu bibi pegang dompet. Mesti bibi akan nagsih uang.”

“Hemmm …. Ini bukan dompet bibi. Tapi ini dompet penumpang yang duduk disebelah bibi. Penumpang yang sudah membuat bibi tersiksa.” Jawab Lia.

“Ouu …. Jadi bibi merampas dompetnya ? Bibi jahat kali.”

“Tidak begitu. Dia mengantuk dan berkali kali kepalanya disandarkan dibahu dan dada bibi. Jadinya bibi sangat jengkel. Dan yang paling jengkel ia sampai menumpahkan air liur di baju bibi. Itu tengok air liurnya yang busuk masih bisa dilihat di baju dalam bak pakaian kotor itu.”

“Ah yang benar bibi bilang. Masak ia tega sengaja menumpahkan air liurnya di baju bibi ?”

“Katanya sih tidak sengaja. Tapi masak sepanjang perjalanan ia tidur melulu. Maka ketika itu kepalanya aku benturkan kedinding bis sebelah kirinya. Agar ia terbangun. Setelah terbangun ia minta maaf. Kemudian ia turun di terminal Tuban. Padahal rencananya turun di Tambak Boyo.”

“Oouu … begitu. Adakah KTP, atau kartu tanda pengenal lain bibi ?” Tanya Syukur kepada bibinya.

“Ada. Bahkan kartu tanda pengenalnya ada tiga didalam dompet itu. KTP, kartu OSIS dan kartu santri.”

“Coba aku lihat bibi !”

Lia memberikan dompet itu kepada Syukur, kemenakannya. Syukur membuka dompet itu. Ia mengamati tiga kartu tanda pengenal. KTP Desa Belik Anget, kartu OSIS, dan kartu santri. Beberapa saat ia mengamati.

“Astaghfirullohal adhim. Hemmm…!” Gumam Syukur.

“Kenapa ?”

“Kalau kartu ini benar miliknya, maka ia adalah ustadzku. Aku akan malu menyerahkan dompet ini bibi.”
“Apakah benar itu ustadzmu ?”

“Ya. Dia ustadz yang luar biasa hebat bibi. Dia di pesantren terkenal mempunyai ilmu laduni. Ilmu yang tanpa belajar bisa dikuasai.”

Lia terdiam. Ia merenungkan kembali kekasarannya didalam bis terhadap orang yang disebutkan sebagai ustadz kemenakannya itu. Ia mencari cara agar tidak bisa ketahuan oleh orang yang pernah dihinakan dalam bis itu. 

“Kalau begitu dompet itu berikan kepadanya tanpa menyebutkan siapa yang menemukan. Sehingga dia tidak mengetahui kalau bibi yang telah menemukan dan yang berbuat kasar kepadanya.”

“Bagaimana Syukur bisa berbohong kepada ustadznya sendiri bibi.”

“Demi untuk menjaga keselamatan bibimu sendiri.”

“Apakah tidak sebaiknya bibi minta maaf saja kepada beliau.”

“Hemmm … Bagaimana ya enaknya ?”

“Menurut Syukur lebih baik minta maaf saja bibi. Karena lain kali kalau berjumpa tidak ada rasa malu lagi bibi.”

“Ya sudah, aku pikir dulu. Besuk ya, aku kasih jawabannya. Sekarang pulanglah !”

Syukur keluar rumah bibinya dengan membawa oleh – oleh dari bibinya. Sampai diluar ia langsung menstart motor Tigernya dan tancap gas menuju rumahnya.

Syukur ikut gelisah atas peristiwa yang menimpa gurunya gara – gara bibinya itu. Ia menjadi repot mau memberikan dompet ustadznya dipesantren. Kalau ketahuan yang sudah berlaku kasar adalah bibinya maka ia sangat malu. Mungkin di pesantren tidak bisa akrab dengan ustadz yang dikaguminya itu seperti dulu lagi.
Sejak mengetahui bahwa pemuda yang kepalanya ia sodok dengan keras itu adalah ustadz kemenakannya, Lia tidak bisa tenang. Malam itu Lia hamper tidak bisa tidur. Ia hanya berfikir bagaimana cara untuk menghindari beretmu dengan pemuda yang telah ia sakiti itu. Ia berharap kalaulah lain kali berjumpa mudah – mudahan dalam perjumpaan yang menyenangkan.

Maka sejak itu ia selalu berdoa dan mengirim fatihah untuk pemuda, Romi  yang telah ia sakiti itu. Ia sangat berharap agar kalau suatu ketika berjumpa Alloh memberikan perjumpaan yang sangat indah. ***

Ketika Romi keluar dari warungnya, penjual nasi diterminal itu mengikuti langkah – langkah Romi dengan pandangan matanya. Ia juga melihat ketika Romi menghadang puluhan mobil dan mobil itu tidak ada yang mau berhenti. Ia melihat baju Romi basah kuyup. Ia juga melihat ketika Romi berdiri ditengah – tengah jalan untuk memberhentikan mobil dengan paksa. 

Ketika mau tidur melihat putra – putrinya ia langsung teringat kepada  pemuda yang baru saja membeli nasi di warungnya. Ia menyesal telah memperlakukan pemuda itu dengan perlakuan yang kurang baik. Ketika itu naluri kewanitaannya timbul. Naluri keibuannya muncul. Ia menyesal tidak mau menolong orang yang benar – benar dalam kesusahan. Padahal pemuda itu begitu tulusnya mengatakan keadaan dirinya.  Pemuda itu sampai mengeluarkan apa yang ada dalam tasnya. Empunya warung penjual nasi di terminal Tuban malam itu gelisah.

Saat itu penjual nasi tersebut bergumam “Aku tidak selayaknya memperlakukannya sekeji itu. Hanya sepiring nasi sisa sangat tidak berarti. Hanya uang tujuh ribu tidak ada nilainya dibanding dengan kesedihan yang ditanggung pemuda itu. Aku berjanji suatu ketika dia kesini untuk melunasi hutangnya kepadaku, maka akan aku beri makan sepuasnya tanpa bayar. Dan akan aku beri nasi untuk dibawa pulang pula. Aku benar – benar menyesal.”***

Malam itu Mas Edy sopir pick up setelah sampai rumah gelisah. Ia sedih telah berkata kasar kepada putra Kyia Roziq ketika dihadang di terminal Tuban. Ia takut kalau kata – katanya yang kotor disampaikan kepada ustadznya, Kyai Roziq oleh Romi, putranya. Ia berjanji ingin segera menemui Romi untuk meminta maaf. Ia juga ingin berpesan agar perkataannya yang kotor itu tidak  diceritakan kepada abahnya. ***
__________________________-
Insyaalloh bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!