Senin, 02 April 2012

KASIH TAK SAMPAI 1. Ilmu Laduni (bag.7)


“Maafkan Romi muridku yang cerdas ! Sekarang aku sangat percaya terhadap apa yang kamu terangkan. Kamu ternyata luar biasa. Aku belum pernah melakukan seperti apa yang kamu lakukan. Usahamu dalam hal memahami suatu ilmu sangat luar biasa hebat.
Usahamu dalam tholabul ilmu bagaikan ulama – ulama salaf.  Ulama terdahulu yang terkenal sholih. Aku hanya bisa mendo’akan suatu saat nanti kamu menjadi seorang ulama besar, kyai terkenal yang sanggup membawa ummat kearah jalan yang benar Romi. Itu harapanku. Akupun berharap mudah – mudahan suatu sa’at nanti aku mempunyai putra dan putri bisa mencontoh perbuatanmu yang mulia ini. Atau bahkan kalau engkau sudah menjadi kyai atau ulama besar aku berhasrat menitipkan anak – anakku kepadamu. Setelah aku mendengarkan keteranganmu dan melihat kenyataan ini, maka aku bisa menyimpulkan bahwa kamulah yang lebih pantas menjadi guruku.”  Sanjung Ustadz Zain dengan langkah gontai.

“Kisahmu ini sangat tepat untuk suri tauldan kawan – kawanmu. Bahkan pantas menjadi suri tauladan bagi para pemuda Indonesia. Insyaalloh lain kali kisahmu itu akan aku jadikan bahan untuk pemberi semangat para santri yang lain Romi. Santri – santri yang lagi lengah tujuannya dari rumah. Kalau saja aku seorang penulis, maka kisahmu ini akan aku tulis menjadi sebuah buku cerita yang sangat menarik dan indah.  Agar bisa dipakai cermin bagi pemuda – pemuda yang lagi lengah, dibuai mimpi – mimpi indah. Hanya sayang aku tidak pandai menuangkan buah pikiranku dalam bentuk tulisan.” Sambung Ustadz Zain.

“Jangan terlalu menyanjung ustadz ! Aku bukan siapa – siapa. Aku hanya seorang santri yang ingin memenuhi kawajibanku sebagai santri ustadz. Tapi mohon maaf ustadz, mungkin inilah malam terakhirku belajar disini. Insyaalloh lain kali aku akan belajar disuatu tempat yang lain. Ustadz, aku berharap, jangan sampai ceritaku ini disebar luaskan kepada santri – santri yang lain. Aku takut akan timbul fitnah dan hal – hal yang negative buat diriku. Sekali lagi ku mohon agar kisahku ini tidak disebar luaskan kepada santri – santri yang lain !”

“Kisah indahmu ini terlalu sayang untuk dibiarkan tersimpan dalam angan – angan saja. Karena kalau diceritakan kepada santri – santri yang lain, maka kisahmu ini akan sanggup membangunkan mereka dari tidur lelap mereka dalam kemalasan. Sanggup menggugah mereka dari lamunan. Sanggup membakar kembali semangat belajar mereka. Ketika kita tahu kemungkaran kita wajib untuk merubahnya. Kita tahu banyak santri yang malas belajar. Banyak santri yang lebih mengandalkan ritual do’a untuk mendapatkan ilmu, tanpa diimbangi dengan usaha lahir yang cukup. Maka menyadarkan mereka adalah suatu kwajiban. Kamu jangan hanya memikirkan hanya dirimu sendiri saja yang harus berhasil di pesantren ini. Merekapun harus berhasil pula. Ingat mereka adalah asset Islam Romi ! Kita harapkan mereka jadi orang – orang alim juga. Sehingga mereka sanggup pula ikut partisipasi menumbuh kembangkan Islam dimanapun mereka berada. Aku tidak menghendaki di pesantren ini hanya kamu yang pandai. Tetapi mereka juga harus pandai. Ingat Romi ! Keberhasilan sebuah pesantren adalah ketika alumninya menjadi sponsor dan contoh bagi masyarakatnya sebagai penggerak kearah kemajuan dan kebenaran dimanapun mereka berada. Ingat Romi ! Perjuangan itu membutuhkan kawan yang cukup. Akan lebih gampang dan enak kita berjuang kalau mempunyai kawan yang banyak. Kalau ada masalah, semacam tekanan dari pihak – pihak tertentu kita bisa atasi bersama – sama. Sehingga beban menjadi ringan. Kalau kita membutuhkan biaya, akan terasa ringan mengangkat biaya tersebut. Lagi pula kalau kita berjuang mempunyai kawan yang cukup banyak dan pandai, otomatis akan disegani oleh siapapun. Tapi kalau kita hanya sendiri maka kita bagaikan tidak mempunyai kekuatan apa – apa Romi. Bukankah begitu Romi?”

Romi tidak bisa menimpali argumen ustadznya. Ia hnya diam. Ia menjawab pertanyaan ustadznya dengan menganggukkan kepala. Karena ia sadar bahwa apa yang disampaikan ustadznya memang benar. Tidak sepantasnya ia ingin pintar sendiri. Tidak sepantasnya ia merasa paling hebat karena putranya seoarang kyai yang mempunyai santri ratusan. Bagaimanapun juga ia hanya seorang Romi. Ia merasa bukan siapa – siapa. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang pemuda, yang kyai adalah abahnya. Ia hanya seorang santri, yang punya pesantren adalah abahnya. Maka ia merasa tidak pantas membanggakan abahnya. Ia akan belajar dan belajar terus sampai mendapatkan ilmu yang melebihi siapapun. Tanpa harus malu lagi ketika belajar dan ketahuan siapapun.

Tidak lama kemudian Ustadz Zain pamit untuk kembali ke pesantren. Karena beliau masih ada tugas yang harus segera diselesaikan. 

Romi menjabat tangan ustadznya itu dengan menciumnya beberapa saat. Lantas ia mengantarkan ustadznya itu sampai diujung gang masuk kearah pesantren. Setelah ustadznya tidak tampak lagi dari pandangan matanya ia kembali ke bangunan tua dimana ia biasa belajar setiap malam.

Angin malam tetap berhembus halus. Menerpa air laut. Sehingga ombak landai tetap berirama teraratur.  Nyanyian ombak itu tetap menyeruak kemana – mana. Menghibur siapa saja yang masih terjaga dan mengail dibibir laut. ***

_____________________
Insyaalloh bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!