KASIH TAK SAMPAI
1.
Malam
itu di pantai utara Pesantren Al - Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah terang
benderang. Cahaya rembulan purnama menyinari pasir pantai dan air samudera yang
luas. Tampak gemerlapan hamparan butir – butir pasir dipesisir. Indah dipandang. Tampak gelombang
landai pantai nan luas itu menggoda pula.
Tetapai
malam itu tidak tampak perahu nelayan yang turun ke laut mencari ikan. Maklum
bulan lagi terang. Tidak ada ikan di laut. Hanya tampak ditepi pantai puluhan orang
dan santri. Ada yang hanya hilir mudik. Ada pula yang lagi mengail ikan dari
tepian laut. Mereka sesekali melempar mata kailnya kearah tengah laut. Namun
sekuat – kuat mereka melempar hanya sanggup sampai sekitar 30 meter dari bibir
laut.
Beberapa
saat kail di lempar, tidak lama kemudian ditarik kembali. Kadang dapat ikan.
Namun lebih sering tidak mendapat. Hanya umpannya yang sering habis. Kalaupun
mereka dapat, ikan ketinglah yang sering kena mata kail. Ketika mata kailnya
menyangkut ikan mereka teriak “Al - Hamdulillah”. Walaupun teriak keras, suara
mereka tidak terdengar. Karena tertelan suara gemuruhnya ombak lautan.
Bagi
santri dapat ikan ketingpun sudah cukup menyenangkan. Karena bisa untuk lauk
makan malam. Atau untuk makan sakhur di malam Senin dan malam Kamis.
Dari
sekian puluh santri yang kelaut itu ada pula beberapa santri yang tidak
mancing. Ada yang hanya sekedar jalan – jalan menikmati indahnya laut dibulan
purnama. Menghilangkan rasa lelah belajar. Ada pula yang menghilangkan rasa
stres. Ada pula yang punya tujuan lain yang mulia. Menghafalkan pelajaran agama
dan pelajaran sekolah umum.
Salah
satu santri yang punya tujuan lain itu adalah seorang santri yang bernama Romi.
Ia putra Kyai Roziq Desa Belik Anget Kecamatan Tambak Boyo Kabupaten Tuban.
Romi
termasuk santri yang sangat rajin, tekun, pendiam, cerdas, ta’at peraturan. Ia sangat tawadlu’
terhadap semua kawan dan ustadznya. Sehingga semua kawan dan ustadznya simpati
terhadapnya.
Postur
tubuh Romi termasuk ideal. Ia seperti abahnya. Tinggi, atletis, dan berisi.
Hidungnya mancung. Suaranya halus dan
mantap. Matanya cekung , dan
pandangannya tajam. Dadanya bidang. Di atas bibirnya yang merah terhiasi
kumis yang masih tipis. Walaupun tidak terlalu tampan, tapi setiap wanita yang
memandang mesti simpati dan akhirnya jatuh cinta.
Hampir
setiap malam Romi ketepi pantai. Ia membawa tikar, bantal kecil, sebuah lampu
sentir, dan beberapa kitab serta sebuah curigen berisi air bersih. Sampai
dipantai ia biasa menuju sebuah bangunan tua semacam pos kampling. Menggelar
tikar, menaruh bantal dan menyalakan lampu sentir didalam bangunan tua tersebut.
Setelah lampu sentir menyala ia membuka kitab dan mempelajarinya sampai tengah
malam tiba. Ketika malam telah melampaui puncaknya ia mengambil curigen berisi
air. Ia membawanya ke pojok bangunan tua itu. Lantas membuka tutup curigen
tersebut. Ia menuangkan air dalam curigen tersebut sedikit demi sedikit
keanggota wudlunya. Selesai wudlu’ mematikan lampu sentir itu dan mulailah ia
sholat malam. Ia sholat malam tiada terhitung lagi jumlah roka’atnya. Lelah
sholat malam ia duduk berdzikir. Sering tertidur sambil duduk dzikir itu,
sampai fajar tiba. Begitulah hampir setiap malam hari Romi ketepi laut hanya untuk
suatu tujuan mulia. Belajar dan belajar.
Maka
ia terkenal santri paling pintar di kelasnya. Dan ia selalu mendapatkan
rangking satu dikelasnya. Maka banyak kawannya yang kagum. Bahkan tidak sedikit
yang ngiri. Banyak pula santri putri yang mendengar tentang kepandaian santri Romi
ini. Santri putri penasaran terhadap sebuah nama “Romi”. Sebuah nama yang
melegenda dipesantren itu.
____________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!