Maka
ia terkenal santri paling pintar di kelasnya. Dan ia selalu mendapatkan
rangking satu dikelasnya. Maka banyak kawannya yang kagum. Bahkan tidak sedikit
yang ngiri. Banyak pula santri putri yang mendengar tentang kepandaian santri Romi
ini. Santri putri penasaran terhadap sebuah nama “Romi”. Sebuah nama yang
melegenda dipesantren itu.
Anehnya
Romi tidak pernah bilang sama kawan sekamarnya kalau dirinya sering belajar di tepi
pantai dimalam hari. Kawan – kawannya menganggap Romi setiap malam hanya pindah
tidur. Karena ketika berangkat kepantai ia tidak pernah pamit pergi kepantai.
Ia hanya pamit tidur diluar. Romi keluar kamar asrama pesantren hanya tampak
membawa tikar dan bantal. Ia membungkus kitabnya didalam tikar. Sering juga menyembunyikan
kitabnya didalam jaket tebalnya. Bahkan kawan – kawannya menganggap Romi punya Ilmu
Laduni. Tanpa belajar sudah bisa menguasai berbagai ilmu, karena
turunan seorang kyai. Kepandaiannya diperoleh karena do’a abahnya. Begitulah
keyakinan kawan – kawannya.
Ketika
lomba menghafalkan Kitab Alfiyah Ibnu Malik yang jumlahnya seribu bait (1000
baris), ia juara pertama. Ketika lomba menghafalkan pelajaran Alfiyah itu ia bagaikan
melantunkan nyanyian saja. Suaranya merdu dan tanpa putus – putus, tanpa salah
satu kata atau satu hurufpun. Kawan – kawan dan ustadznya semua heran. Karena
sitem belajar Romi memang tergolong aneh dan unik. Mereka menganggap bahwa Romi
tidak pernah belajar. Mereka beranggapan
Romi mempunyai Ilmu Laduni.
Ada
beberapa santri dan ustadz yang ingin tahu lebih dalam tentang Romi. Namun
tidak gampang untuk bisa mengorek tentang dirinya. Romi hanya tidak ingin
gagal. Karena ia sadar bahwa pesantren abahnya menunggu dirinya. Ia sadar,
bahwa ia makan keringat abah dan uminya. Ia sadar bahwa dirinya menyengsarakan
abah dan uminya. Setiap bulan abah dan uminya mencarikan uang untuk biaya di
pesantren dan biaya membelikan kitab – kitabnya. Maka ia tidak ingin mengecewakan abah dan
uminya.
Suatu
malam sebelum sempat pergi kepantai, ada salah seorang ustadznya bertamu
dikamarnya. Ustadznya penasaran terhadap Romi. Tampaknya Romi tidak pernah
belajar tapi kenapa pandai.
“Assalamu’alaikum
Santri brillian !” Salam Ustadz Zain.
“Wa’alaikum
salam yang mulia.” Jawab Romi dengan suara halus dan tawadlu’.
“Alhamdulillah.
Malam ini kita bisa bertemu. Maaf Romi ! Bisakah ngobrol – ngobrol barang
sebentar ?”
“Astaghfirullohal
‘Adhim, Alhamdulillah. Jangan bilang begitu tuan ustadz ! Aku malu, aku
bersyukur sekali kalau ustadz mau mengajak ngobrol denganku. Demi ustadz yang
aku tho’ati, maka dengan senang hati kalau Tuan Ustadz sudi ngobrol denganku.
Mudah – mudahan aku bisa mereguk ilmu yang lebih banyak lagi dari ustadz dalam
obrolan ini nanti.”
“He
he he. Tidak usah panggil Tuan Ustadz segala. Panggil saja Zain. Aku tidak
ingin ngobrol masalah ilmu. Tapi aku ingin tahu tentang cara belajarmu, Si
Pintar.”
“Tuan
Ustadz, aku jadi malu. Mangapa ustadz panggil Si Pintar ? Bukankah sanjungan
itu racun ustadz ? Racun yang mematikan. Dan aku tidak pantas mendapat titel
itu. Titel itu hanya pantas disandang oleh Tuan Ustadz.”
“He
he he. Tidak juga pantas untukku. Karena ketika aku dipesantren tidak pernah
mengukir keistimewaan sepertimu Romi. Aku tidak pernah menorehkan kemenangan
nomor tigapun ketika lomba hafalan. Aku tidak pernah juara dalam hafalan kitab
Alfiyah santriku.”
“Tetapi
ustadz….”
“Tidak
usah tetapi. Tidak perlu berdebat hal yang tidak berguna! Aku hanya ingin
bertanya sesuatu hal kepadamu. Tolong jawablah sejujurnya !”
“Ya
ustadz. Tentang apa ustadz ?”
“Apakah
kamu mempunyai Ilmu Laduni ?”
“Apa
Tuan Ustadz ? Ilmu Laduni ?” Tanya balik Romi dengan nada sangat
heran.
______________________
Insyaalloh bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca lebih baik memberikan komentar......!!!