“He
he he. Tampaknya kamu pandai pula bersilat lidah. Pandai pula berdalih. Pandai
pula menutupi kelebihanmu hal yang irrasional itu dengan hal – hal yang
rasional. Tetapi aku tetap tidak percaya sebelum aku tahu sendiri dengan mata
kepala sendiri dimana tempat belajarmu setiap malam.”
“Maaf
ustadz ! Aku hanya percaya bahwa Ilmu Laduni itu sekarang sudah
tidak ada lagi ustadz. Bagiku siapa yang ingin bisa mesti belajar dengan giat.
Bagi siapa yang ingin bisa tidak mau belajar dengan giat, maka bagaikan menanti
adanya hujan keatas. Alias hal yang mustahil terjadi. Maaf Ustadz, kalau
bersilat lidah aku tidak pandai. Aku lebih fasih bersilat benaran. Bukan
bersilat lidah. Dan aku lebih suka bersilat sungguhan dari pada bersilat lidah.
Ustadz memang pintar. Pintar juga memancing agar aku membuka tempat belajarku
yang rahasia itu. Ingat ustadz ! Insyaalloh aku tidak akan membuka rahasia ini
sampai suatu saat yang memungkinkan. Saat ini belum memungkinkan ustadz.”
“Hem…
Aku semakin curiga. Dengan tidak mau menunjukkan tempat belajarmu setiap malam
itu, berarti kamu memang benar – benar mempunyai Ilmu Laduni.
Karena memang tidak ada tempat yang kamu tempati belajar setiap malam itu.
Alasanmu itu menunjukkan bahwa kamu akan segera mencari tempat yang pantas
untuk belajar lebih dulu. Setelah mendapatkan tempat yang layak baru
kemudian kamu akan menunjukkan kepadaku. Bukankah begitu Romi ?”
Romi
menundukan kepala, diam sejenak. Ia tidak pernah menyangka keterangan –
keterangannya selalu dimentahkan oleh ustadznya. Ia heran kepada ustadznya.
Kenapa begitu yakinnya Ustadz Zain akan Ilmu Laduni. Padahal Romi
sendiri tidak begitu yakin terhadap ilmu itu. Baginya Ilmu Laduni
tidak lebih ilmu yang ada dalam cerita saja. Baginya Ilmu Laduni adalah ilmu
yang didapat karena menempuh cara – cara yang layak. Belajar giat, niat yang
benar, dengan waktu yang cukup panjang , dan berdo’a. Dengan cara – cara itu
siapapun layak mendapat Ilmu Laduni.
“Ustadzku,
rasanya tidak ada gunanya berdebat panjang – lebar hanya tentang hal yang
seremeh ini. Sekarang marilah kita pergi kesuatu tempat yang biasa aku buat
untuk belajar hampir setiap malam.” Ajak Romi.
“Syukron
atas kesediannya menunjukkan tempat belajarmu setiap malam.” Jawab Ustadz Zain.
Ustadz
Zain berdiri dan turun dari tikar yang selama berdebat didudukinya. Demikian
juga Romi. Lantas Romi menggulung tikar itu. Selesai menggulung tikar itu Romi mengepitnya.
Kemudian ia berjalan menuju ke pesantrennya kembali. Ustadz Zain mengikuti
dibelakang santrinya itu tanpa bertanya lagi
Sampai
di asrama Romi masuk kedalam kamarnya sebentar. Ia mengambil sebuah curigen dan
sebuah lampu sentir. Sedang Ustadz Zain menunggu diluar kamar. Setelah itu Romi
keluar kamar menuju kran air. Ia mengisi curigen itu dengan air kran tersebut.
Lantas ia berjalan menuju Ustadz Zain.
Romi
mengajak ustadznya itu pergi menuju pantai. Mereka berjalan pelan – pelan
beriringan tanpa berbicara lagi. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk membersihkan
sandal dari pasir yang naik kesandal mereka.
Sekitar
lima belas menit kemudian mereka berdua sampai di tepi pantai. Mereka berdua
bisa melihat luasnya lautan dengan ombak yang landai. Mereka juga
menyaksikan berpuluh orang di bibir
pantai dengan kegiatan yang berbeda. Ada yang duduk, ada yang berdiri ada yang
berjalan kesana - kemari saja. Karena
hari itu tanggal hari terang bulan mereka semua tampak dengan jelas.
“Kemana
kita mau pergi Romi ?” Tanya Ustadz Zain.
“He
he he … Malam ini kita menikmati indahnya terang bulan dulu ustadz. Kita jalan
– jalan dulu melihat – lihat kawan – kawan yang sedang mancing di tepi pantai
itu. Nanti, malam sedikit larut kita ketempat dimana aku biasa uzlah ustadz.”
Jawab Romi.
“Ooo
… Luar biasa, indahnya pemandangan samudera luas malam ini. Sangat indah
purnama di tepi pantai yang dihiasi dengan ombak air lautan dan para pengail
ikan. Tetapi malam ini aku tidak selera sama
sekali melihat keindahan purnama dipantai ini. Aku tidak selera melihat semua
keindahan itu. Aku lebih suka melihat dimana tempat belajarmu setiap malam. Bagiku
melihat tempat belajarmu setiap malam adalah suatu keindahan dan kenikmatan
tersendiri. Atau memang kamu sengaja
mengulur waktu sambil mencari tempat yang pas ?”
“Sabar
ustadz ! Bukankah sabar itu menjadi kekasih Alloh ?”
“Betul
demikian. Tetapi dalam hal ini lebih cepat lebih baik Romi. Karena waktuku tidak
cukup banyak. Aku masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum fajar
tiba Romi.”
“Kalau
begitu baiklah. Ustadz Zain tahu kan bangunan disebelah timur itu ? Disanalah
aku setiap malam singgah, belajar dan tidur sambil duduk sampai fajar tiba.
Apakah sekarang ustadz sudah percaya terhadap keteranganku ?”
“Sebelum
melihat tanda – tanda yang nyata dari bekas – bekas belajarmu aku belum
percaya. Karena bisa juga kamu hanya sekedar menunjuk suatau tempat yang kira –
kira pantas untuk tempat belajarmu.”
“Ooo
… Jadi ustadz belum percaya ?”
_________________________
Insyaalloh bersambung
Novelnya bagus. Bikin novel saja ! Aku tunggu crita selanjutnya
BalasHapusinsyaalloh. terima kasih dukungannya akhiy
Hapus